Selasa, 27 Juli 2010

K O R U P S I
“Bangkit Melawan atau Mati Tertindas”

Genderang perang terhadap korupsi sudah ditabuh berulang kali. Hasilnya, korupsi bukannya mereda apalagi menghilang, justru merebak nyaris tak terkendali. Area nya pun tidak terbatas hal-hal duniawi baik pejabat dan penegak hukum. Tetapi juga sudah masuk dalam urusan akhirat seperti berhaji pun terjamah praktik haram. Lama waktu yang digunakan, banyaknya energi yang dikeluarkan untuk urusan ini, sudah terlalu besar, namun tidak membawa hasil memuaskan. Kita mungkin bertanya, “Apa yang salah”? Ini kesalahan strategi, pribadi, atau kultur. Mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer menggambarkan bagaimana korupsi yang semula menjadi masalah moral individu kemudian bergeser sebagai problema sosial-politik, sebagai fenomena sosial yang membudaya, dengan istilah sekarang sudah “tersosialisasi”, iheren dalam sistem. Korupsi di tahun 1954 dengan sekarang masalahnya tetap sama, inti hakekatnya tidak berubah, Cuma skala angka berbeda jauh ratusan dan ribuan menjadi miliaran dan trilyunan berbareng dengan rasa malu yang sudah mandul dan juga ikut ludes sama sekali. Sehingga kultur ini menjadi suatu “mutasi sosial” dalam permainan korupsi itu yang dahulunya yang semula kecil, mewabah luas menjadi kebiasaan sosial.
Istilah korupsi diartikan sebagai penyuapan, pembusukan dan perusakan moral atau juga sebuah perbuatan yang busuk, seperti penggelapan, uang sogok, dan sebagainya. Korupsi dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam akan segera diketahui, bahwa semua definisi korupsi mengandung dua unsur berikut didalamnya: pertama, Penyalahgunaan kekuasaan yang melampui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara, kedua, mengutamakan kepentingan pribadi atau klien diatas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.

A. Faktor Sosial dan Mentalitas
Korupsi yang timbul disuatu negara tertentu memiliki ciri permasalahan sendiri yang berhubungan dengan berbagai faktor: Pertama, dari stuktur sosial dan sistem sosial, kedua, orietasi sosial pada kebendaan dan keuangan, dan ketiga dari perubahan sosial dan mordenisasi. Faktor sosial turut memainkan peranannya di sini, praktek korupsi jelas berkaitan erat dengan dengan mentalitas “ selalu merasa kekurangan” (unsatiable mentality) yang memiliki mentalitas tidak akan pernah merasa puas dengan penghasilan yang mereka capai. Keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak tidak pernah terpuaskan sehingga terkesan menjurus kearah serakah. Untuk memuaskan rasa kurang mereka menempuh berbagai jalan baik yang dilakukan sesuai dengan peraturan etika, maupun yang berlawanan dengan itu.
B. Faktor Budaya
Latar belakang budaya secara kasat mata kita dapat melihat bahwa faktor tersebut mempengaruhi timbulnya budaya korupsi di Indonesia berupa pemberian upeti kepada penguasa dinasti yang memerintah pada saat itu, sehingga tercipta birokrasi yang Patrimonial sejak zaman VOC melalui sistem pemerintahan Mataram sampai zaman sekarang. (Para pamong praja ketika itu biasanya terdiri dari para priyayi, yang masih kerabat kerajaan. Mereka bekerja bukan untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi mengabdi kepada raja, dan oleh rajanya mereka mendapat hak dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan rakyat. Atas kekuasaan yang dimilikinya itu, ia menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan rakyatnya. Dengan kekuasaannya itu, mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari rakyatnya. Dan rakyat biasanya memberi upeti kepadanya, atas izin dan perlindungan yang diberikan atas kegiatan hidupnya. Semakin besar kekuasaan yang dimilikinya, maka semakin besar pula upeti yang akan diterimanya. Hak-hak istimewa yang mereka miliki itulah, yang menjadi pusat tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme tumbuh subur.

C. Faktor Kultur Politik
Dalam perjalanan sejarah arti istilah korupsi itu telah berkaitan erat dengan sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman modern ini. Hal ini pertama kali didegungkan oleh Lard Acton seorang sejarawan Inggris yang telah mengucapkan kata-kata termasyur: “The Power Tend To Corrupt, Absolute Power Corrupt Absolutely” ( Kekuasaan itu cenderung kekorupsi, kekuasaan mutlak akan melahirkan korupsi mutlak juga). Kelihatannya birokrasi pemerintah kita sejak awal kemerdekaan hingga kini masih belum bergeser dari paradigma kekuasaan, bukan pelayanan. Dalam paradigma kekuasaan didalamnya terkandung hak-hak untuk mengatur dan untuk itu mereka memperoleh sesuatu dari mereka yang diatur. Rakyat disini sebagai yang dikuasai, bukan yang menguasai, karena itu jika rakyat ingin mendapatkan suatu perlindungan ataupun pekerjaan dan proyek, rakyat harus memberi sesuatu atau suap dan sogokan kepada penguasa dan melayaninya. .

D. Penutup
Dalam sejarah korupsi terbukti adalah satu-satunya lawan dari uang adalah ideologi . Tumpukan uang setinggi gunung pun tidak akan mengubah pendirian seorang idelog. Sayang negeri ini jumlah para ideolog kian mengecil dan tidak memiliki peran berarti dalam stuktur sosial maupun kekuasaan. Karena sampai sekarang negara Indonesia masih rengking tertinggi negara korup di dunia. Kalau pun toh korupsi sudah menjadi budaya, maka untuk memberantasnya harus dimulai dengan mengubah akarnya, yaitu akar budaya politik yang mendasari kesistensi dari birokrasi kekuasaan itu sendiri. Kalau ini tidak dilaksanakan maka apa yang di pikirkan Pramoedya bahwa korupsi akan menjadi kebiasaan sosial. Mampukah kita mengakhiri praktek korupsi di negeri ini? Satu pertanyaan yang patut untuk direnungkan untuk mengubah kesadaran kita, atau Sulawesi Tengggara akan hancur akan korupsi secara umum dan secara Khusus Kabupaten Kolaka yang ladang Korupsi bisa hancur gara-gara korupsi yang merajalela. Baik korupsi di dalam Penyalahgunaan APBD maupun Korupsi dalam pemberian izin-izin kuasa pertambangan yang merusak lingkungan, Persis seperti nasib VOC dulu.







Disuarakan oleh ForSDa pada hari rabu tanggal 27 Januari 2010
Di kantor Kejati Sultra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar