Selasa, 27 Juli 2010

Hubungan Hukum dan Kekuasaan

HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAN

Dalam kehidupan masyarakat kekuasaan mempunyai arti penting bagi hukum karena kekuasaan bukan hanya merupakan istrumen pembentukan hukum (law making), tapi juga istrumen penegakan hukum (law enforcement). Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau pihak dalam suatu bidang tertentu. Dalam hal demikian dapat dikatakan, bahwa kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang. Mengingat bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi penataan ketentuan-ketentuannya, hukum memerlukan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka. Sebaliknya, hukum berbeda dari kaidah sosial lainya, yang juga mengenal bentuk-bentuk paksaan, dalam hal bahwa kekuasaan memaksa itu sendiri diatur oleh hukum baik mengenai ruang lingkup maupun pelaksanaannya. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan oleh batas-batasnya oleh hukum.
Karakteristik hubungan hukum dan kekuasaan dalam hal legislasi kekuasaan dan penegakan hukum dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmaja dalam suatu ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” ungkapan tersebut,mengandung arti hukum dan kekuasaan adalah kekuasaan merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam arti masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum. Dari apa yang dikemukakan diatas,memaksa kita untuk mencoba menyalami lebih jauh fenomena kekuasaan yang demikian pentingnya dalam kehidupan bermasyarakat itu. Apakah hakikat dari kekuasaan itu?
Kekuasaan sering bersentuhan sama dengan kekuatan fisik (termasuk senjata) dan bahwa kekuasaan itu dimiliki oleh orang yang berwenang. Karena itu dikatakan bahwa kekuatan fisik (force) dan wewenang resmi (formal authority) merupakan dua sumber dari kekuasaan. Dapatkah kita lalu katakan bahwa kekuasaan itu adalah sama dengan wewenang dan kekuatan?
Jawabannya adalah tidak, sebab walaupun bagi suatu angapan yang terbatas tentang kekuasaan, . Adakalanya orang yang formal mempunyai wewenang dan nyata mempunyai kekuatan fisik dalam keadaan-keadaan tertentu dalam kenyataan tidak memiliki atau tidak (dapat) melaksanakan kekuasaannya. Wewenang formal dan kekuatan fisik bukan satu-satunya sumber kekuasaan. Kekuasaan itu adalah fenomena yang aneka ragamnya bentuknya (polyform) dan banyak macam sumbernya. Hanya inti atau hakikat kekuasaan dalam pelbagai bentuk itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang atau suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain
Esensi Kekuasaan dan Hukum
A. Esensi Kekuasaan
Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, negara dan umat manusia. Konsep hubungan sosial itu meliputi hubungan personal diantara dua insan yang berinteraksi, hubungan institusional yang bersifat hierarkis, dan hubungan subjek dan objek yang dikuasainya. Karena kekuasaan memiliki banyan dimensi,maka tidak ada kesepahaman di antara para ahli politik, sosiologis, dan hukum dan kenegaraan mengenai pengertian kekuasaan.
Max Weber . mengemukakan bahwa “Kekuasaan adalah kemampuan untuk,dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekali pun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.”kekuasaan yang dikemukakan weber dijadikan dasar perumusan pengertian kekuasaan oleh beberapa pemikiran lain misalnya,Strausz-Hupe. Mendefinisakan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk memaksakan kemauan pada orang lain”. C.Wright Mills. “Kekuasaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang, artinya kekuasaan mempunyai sifat memaksa”.
Talcot Parsons. kekuasaan adalah kemampuan umum untuk menjamin pelaksanaan dari kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh unit-unit organisasi kolektif dalam suatu sistem yang merupakan kewajiban-kewajiban yang diakui dengan acuan kepada pencapaian tujuan-tujuan kolektif mereka dan bila ada pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban dapat dikenai oleh sanksi negatif tertentu, siapun yang menegakkanya. Pengertian ini menitikberatkan kepada kekuasaan publik untuk menegakkan aturan-aturan masyarakat yang bersifat memaksa demi untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Kekuasaan menurut pengamatan sejarah. mempunyai suatu sifat khas, yakni ia cenderung untuk meransang yang memilikinya untuk lebih berkuasa lagi. Kekuasaan yang demikian, tidak dapat bertahan lama karena perlawanan (sebagai kebalikan dari dukungan) akan bertambah sedemikian rupa sehingga tidak akan dapat dikendalikan lagi dengan kekuatan senjata. Hal ini jelaskan dinyatakan oleh Talleyrand. yang mengatakan bahwa:
…”banyak yang dapat kita lakukan dengan ujung bayonet, kecuali duduk diatasnya”.
Kekuasaan itu sendiri (an sich) tidak baik atau buruk, bergantung kepada bagaimana kita menggunakannya. Ia merupakan suatu unsur yang muklak bagi kehidupan masyarakat yang tertib, bahkan setiap bentuk organisasi yang teratur. Akan tetapi karenan sifat-sifat dan hakikatnya, kekuasaan itu untuk dapat bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan batas-batasnya. Untuk itu kita membutuhkan hukum.
Kekuasaan dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan Negara berkaitan dengan otoritas negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan damai. Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan masyarakat untuk mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial dapat berjalan secara lancar. Ketidak seimbangan diantara keduanya akan mendorong terjadinya kekuasaan hegemonik dimana negara sangat kuat dan masyarakat sangat lemah, sehingga tercipta pola hubungan dominatif dan eksploitatif. Hal ini mengakibatkan negara bukan hanya campur tangan dalam urusan-urusan kenegaraan dan kemasyarakatan, tetapi juga intervensi atas seluruh tindakan masyarakat yang sebenarnya bukan dalam lingkup wewenangnya. Selain kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dan penetapan alternatif-alternatif bertindak, kekuasaan juga mengandung makna sarana pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat dan atas nama masyarakat. Pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat mencakup pelaksanaan fungsi politik, pelaksanaan fungsi ekonomi, pelaksanaan fungsi sosial dan budaya, pelaksanaan fungsi hukum dan pemerintahan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya. Pelaksanaan fungsi itu bertujuan untuk memperlancar interaksi sosial dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat.
Kekuasaan diartikan sebagai konsep hubungan sosial dominatif yang menggambarkan adanya suatu kekuatan yang dimiliki oleh seseorang atau satu pranata untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain (termasuk pranata lain) yang dilakukan melalui penetapan perintah-perintah atau pembuatan aturan-aturan tingkah laku sehingga orang lain menjadi tunduk dan patuh terhadap perintah-perintah dan aturan-aturan tingkah laku tersebut.
B. Esensi Hukum
Para ahli hukum dalam pandangan mereka mengemukakan tentang hukum berbeda satu sama lain. Perbedaan pandangan itu dapat dilihat dari pengertian hukum yang mereka kemukakan. Meskipun ada perbedaan pandangan, namun pengertian itu dapat diklasifikasikan dalam empak kelompok.
Pertama, hukum diartikan sebagai nilai-nilai. Misalnya Viktor Hugo yang mengartikan hukum sebagai kebenaran dan keadilan. Grotius mengemukakan bahwa hukum adalah suatu aturan moral tindakan yang wajib yang merupakan sesuatu yang benar. Pembahasan hukum dalam konteks nilai-nilai berarti memahami hukum secara filosofi karena nilai -nilai merupakan abstraksi tertinggi dari kaidah-kaidah hukum.
Kedua, hukum diartikan sebagai asas-asas fundamental dalam kehidupan masyarakat definisi hukum dalam perspektif ini terlihat dalam pandangan Salmond yang mengatakan “hukum merupakan kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan”
Ketiga, hukum diartikan sebagai kaidah atau aturan tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Vinogradoff mengartikan hukum sebagai seperangkat aturan yang diadakan dan dilaksanakan oleh suatu masyarakat dengan menghormati kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan atas setiap manusia dan barang. Pengertian yang sama dikemukakan oleh Kantorowich, yang berpendapat bahwa hukum adalah suatu kumpulan aturan sosial yang mengatur perilaku lahir dan berdasarkan pertimbangan
Keempat, Hukum diartikan sebagai kenyataan (das sein) dalam kehidupan masyarakat. Hukum sebagai kenyataan (das sein) dalam kehidupan masyarakat. Hukum sebagai kenyataan sosial mewujudkan diri dalam bentuk hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat atau dalam bentuk perilaku hukum masyarakat. Perilaku hukum terdiri dari perilaku melanggar hukum (pelanggaran hukum) dan perilaku menaanti aturan-aturan hukum.
Sekalipun dalam pembahasan diatas telah dikemukakan berbagai kesulitan untuk merumuskan hukum dalam satu definisi yang dapat diterima secara universal oleh semua kalangan, tetapi di kalangan pakar hukum, terdapat dua pendapat.
a. Pendapat umum dikalangan hukum, adalah bahwa tidak berarti suatu upaya pendefinisian hukum merupakan upaya yang tak ada manfaatnya. Sekalipun disadari bahwa tidak ada seorang yuris pun yang mampu merumuskan hukum secara tuntas dan lengkap, namun keberadan suatu definisi, khususnya bagi kalangan hukum, merupakan hal yang tak mungkin dibantah. Menurut pandangan pertama ini usaha-usaha untuk membuat suatu definisi yang tepat, akan tetap merupakan aspek yang penting di dalam ilmu hukum
b. Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang sangat original dari Lon L. Fuller (1902-1978) bagi Fuller, karena maksud dibuatnya hukum adalah untuk menyediakan suatu kerangka kerja bagi interaksi sosial (a framework for social interactions), yang merupaya untuk menjadikan tingkah laku manusia sebagai subjek pengaturan (as the enterprise of subjecting human conduct to the governance of rules), maka Fuller menawarkan pendiriannya yang menolak pendifinisian hukum (a nondefinition of law). Jadi, secara sadar Fuller memang tidak menyinggung tentang keberadaan sanksi-sanksi, sebab sepenuhnya kekuasaan hukum bersumber dari fakta ketaatan warga negara yang memperoleh keuntungan karena mengikuti hukum. Hukum mengizinkan warga negaranya untuk meningkatkan kebebasan mereka, dengan membuat inovasi-inovasi yang memungkinkan di dalam stuktur bisnis dan komersial, yang sebaiknya dengan seluruh aspek kehidupan keseharian mereka.

Secara singkat karakter hukum menurut Lon L Fuller adalah:
a.Generality (bersifat umum), b. Promulgation (diumumkan), c.Nonretroactive (tidak berlaku surut), d.Clarity (jelas),e. Noncontradictory (tidak berlaku surut), f. Requiring only the possible in the way of conduct (membutuhkan hanya cara-cara yang dimungkinkan untuk dilakukan, bukan hal yang mustahil untuk dilakukan, g. Constancy through time (konstan sepaanjang waktu), g. Congruence between official action and declared rule (kesesuaian antara tindakan pejabat resmi dengan aturan yang diumumkan)

Hubungan Hukum dan Kekuasaan
Pola hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu sendiri, Menurut Lassalle, konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara” Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan. Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-hubungan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubungan-hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivercrona tak lain daripada “kekuatan yang terorganisasi”, hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”, dia mengingatkan “kekerasan fisik atau pemaksaan” sebagai demikian sama sekali tidak berbeda dari kekerasan yang dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh. Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, naun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Van Apeldron mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi ini berarti bahwa hukum tidak bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak seanya hukum. “Might is not right” pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu. Kedua, adalah bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Artinya hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang erat diantara keduanya. Hubungan itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan resiprokal (timbal balik)
Mahmud MD, hubungan kausalitas antara antara hukum dan politik atau tentang pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum maka ada 3 macam menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berintekrasi dan bahkan saling bersaingan, Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpengang teguh pada pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan antar anggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik. Sedangkan mereka yang memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan) atau para penganut paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam perbuatannya, tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif (yang menetapkan produk hukum).
Fungsi Kekuasaan terhadap Hukum
Kekuasaan merupakan sarana untuk membentuk hukum, khususnya pembentukan undang-undang (law making). Kekuasaan untuk membentuk hukum dinamakan kekuasaan legislatif (legislatif power), yang merupakan kekuasaan parlemen atau badan perwakilan. Kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang berasal dari pemikiran John Locke dan Montesquieu. Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara, terdapat konvergensi kekuasaan pembentukan undang-undang. Pembentukan undang-undang tidak lagi menjadi monopoli parlemen, tapi kerjasama antara parlemen dan pemerintah. kekuasaan merupakan alat untuk menegakkan hukum. Penegakan hukum adalah suatu proses mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum adalah di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Kekuasaan merupakan media untuk melaksanakan hukum. Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum adalah upaya menjalankan (eksekusi) putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan badan peradilan tidak akan banyak artinya bagi pengorganisasian kehidupan masyarakat jika tidak dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten. Otoritas eksekusi merupakan kewenangan kejaksaan dan pengadilan.
Fungsi hukum terhadap Kekuasaan
Hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi yuridisnya. Setiap kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal memiliki legalitas. Namun yang sering menjadi masalah adalah bila kekuasaan yang legal itu adalah kekuasaan yang sewenang-wenang, tidak patut, dan tidak adil. Hal itu sebenarnya merupakan masalah legitimasi kekuasaan, yaitu pengakuan masyarakat terhadap keabsahan kekuasaan. Hukum adalah instrumen untuk mengatur kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara harus diatur sedemikian rupa supaya tidak menimbulkan ambiquitas dan paradoksal di antara kekuasaan-kekuasaan negara yang ada atau antara kekuasaan pejabat yang satu dengan kekuasaan pejabat yang lain. Adanya kekuasaan yang ambiquitas dan paradoks bukan hanya akan menimbulkan ketidakjelasan wewenang dan pertanggungjawabannya, tapi juga akan melahirkan ketidaksinkronan dan ketidakpastian hukum.Hukum adalah alat untuk membatasi kekuasaan.Pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada satu tangan atau pada satu lembaga.
Penutup
Ada tiga bentuk manifestasi hubungan hukum dan kekuasaan dalam konteks ini:
Pertama, hukum tunduk kepada kekuasaan. Maksudnya, hukum bukan hanya menjadi subordinasi kekuasaan, tapi juga sering menjadi alat kekuasaan, dengan kata lain, kekuasaan memiliki supremasi terhadap hukum. Oleh karena itu, definisi hukum yang dikemukakan oleh para ahli menempatkan hukum berada dibawah kotrol kekuasaan
Kedua, kekuasaan tunduk kepada hukum. Artinya, kekuasaan berada dibawah hukum dan hukum yang menentukan eksistensi kekuasaan. Dalam pikiran hukum, tunduknya kekuasaan kepada hukum merupakan konsep dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep itu dirumuskan dalam terminology supremasi hukum (supreme of law)
Ketiga, ada hubungan timbale balik (simbiotik) antara hukum dan kekuasaan. Dalam hal ini hubungan hukum dan kekuasaan tidak bersifat dominative dimana yang satu dominan atau menjadi factor determinan terhadap yang lain, tapi hubungan pengaruh mempengaruhi yang bersifat fungsional, artinya hubungan itu dilihat dari sudut fungsi-fungsi tertentu dan dapat dijalankan di antara keduanya. Demikian, kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, dan sebaliknya hukum mempunyai fungsi terhadap kekuasaan.

























K O R U P S I
“Bangkit Melawan atau Mati Tertindas”

Genderang perang terhadap korupsi sudah ditabuh berulang kali. Hasilnya, korupsi bukannya mereda apalagi menghilang, justru merebak nyaris tak terkendali. Area nya pun tidak terbatas hal-hal duniawi baik pejabat dan penegak hukum. Tetapi juga sudah masuk dalam urusan akhirat seperti berhaji pun terjamah praktik haram. Lama waktu yang digunakan, banyaknya energi yang dikeluarkan untuk urusan ini, sudah terlalu besar, namun tidak membawa hasil memuaskan. Kita mungkin bertanya, “Apa yang salah”? Ini kesalahan strategi, pribadi, atau kultur. Mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer menggambarkan bagaimana korupsi yang semula menjadi masalah moral individu kemudian bergeser sebagai problema sosial-politik, sebagai fenomena sosial yang membudaya, dengan istilah sekarang sudah “tersosialisasi”, iheren dalam sistem. Korupsi di tahun 1954 dengan sekarang masalahnya tetap sama, inti hakekatnya tidak berubah, Cuma skala angka berbeda jauh ratusan dan ribuan menjadi miliaran dan trilyunan berbareng dengan rasa malu yang sudah mandul dan juga ikut ludes sama sekali. Sehingga kultur ini menjadi suatu “mutasi sosial” dalam permainan korupsi itu yang dahulunya yang semula kecil, mewabah luas menjadi kebiasaan sosial.
Istilah korupsi diartikan sebagai penyuapan, pembusukan dan perusakan moral atau juga sebuah perbuatan yang busuk, seperti penggelapan, uang sogok, dan sebagainya. Korupsi dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam akan segera diketahui, bahwa semua definisi korupsi mengandung dua unsur berikut didalamnya: pertama, Penyalahgunaan kekuasaan yang melampui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara, kedua, mengutamakan kepentingan pribadi atau klien diatas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.

A. Faktor Sosial dan Mentalitas
Korupsi yang timbul disuatu negara tertentu memiliki ciri permasalahan sendiri yang berhubungan dengan berbagai faktor: Pertama, dari stuktur sosial dan sistem sosial, kedua, orietasi sosial pada kebendaan dan keuangan, dan ketiga dari perubahan sosial dan mordenisasi. Faktor sosial turut memainkan peranannya di sini, praktek korupsi jelas berkaitan erat dengan dengan mentalitas “ selalu merasa kekurangan” (unsatiable mentality) yang memiliki mentalitas tidak akan pernah merasa puas dengan penghasilan yang mereka capai. Keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak tidak pernah terpuaskan sehingga terkesan menjurus kearah serakah. Untuk memuaskan rasa kurang mereka menempuh berbagai jalan baik yang dilakukan sesuai dengan peraturan etika, maupun yang berlawanan dengan itu.
B. Faktor Budaya
Latar belakang budaya secara kasat mata kita dapat melihat bahwa faktor tersebut mempengaruhi timbulnya budaya korupsi di Indonesia berupa pemberian upeti kepada penguasa dinasti yang memerintah pada saat itu, sehingga tercipta birokrasi yang Patrimonial sejak zaman VOC melalui sistem pemerintahan Mataram sampai zaman sekarang. (Para pamong praja ketika itu biasanya terdiri dari para priyayi, yang masih kerabat kerajaan. Mereka bekerja bukan untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi mengabdi kepada raja, dan oleh rajanya mereka mendapat hak dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan rakyat. Atas kekuasaan yang dimilikinya itu, ia menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan rakyatnya. Dengan kekuasaannya itu, mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari rakyatnya. Dan rakyat biasanya memberi upeti kepadanya, atas izin dan perlindungan yang diberikan atas kegiatan hidupnya. Semakin besar kekuasaan yang dimilikinya, maka semakin besar pula upeti yang akan diterimanya. Hak-hak istimewa yang mereka miliki itulah, yang menjadi pusat tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme tumbuh subur.

C. Faktor Kultur Politik
Dalam perjalanan sejarah arti istilah korupsi itu telah berkaitan erat dengan sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman modern ini. Hal ini pertama kali didegungkan oleh Lard Acton seorang sejarawan Inggris yang telah mengucapkan kata-kata termasyur: “The Power Tend To Corrupt, Absolute Power Corrupt Absolutely” ( Kekuasaan itu cenderung kekorupsi, kekuasaan mutlak akan melahirkan korupsi mutlak juga). Kelihatannya birokrasi pemerintah kita sejak awal kemerdekaan hingga kini masih belum bergeser dari paradigma kekuasaan, bukan pelayanan. Dalam paradigma kekuasaan didalamnya terkandung hak-hak untuk mengatur dan untuk itu mereka memperoleh sesuatu dari mereka yang diatur. Rakyat disini sebagai yang dikuasai, bukan yang menguasai, karena itu jika rakyat ingin mendapatkan suatu perlindungan ataupun pekerjaan dan proyek, rakyat harus memberi sesuatu atau suap dan sogokan kepada penguasa dan melayaninya. .

D. Penutup
Dalam sejarah korupsi terbukti adalah satu-satunya lawan dari uang adalah ideologi . Tumpukan uang setinggi gunung pun tidak akan mengubah pendirian seorang idelog. Sayang negeri ini jumlah para ideolog kian mengecil dan tidak memiliki peran berarti dalam stuktur sosial maupun kekuasaan. Karena sampai sekarang negara Indonesia masih rengking tertinggi negara korup di dunia. Kalau pun toh korupsi sudah menjadi budaya, maka untuk memberantasnya harus dimulai dengan mengubah akarnya, yaitu akar budaya politik yang mendasari kesistensi dari birokrasi kekuasaan itu sendiri. Kalau ini tidak dilaksanakan maka apa yang di pikirkan Pramoedya bahwa korupsi akan menjadi kebiasaan sosial. Mampukah kita mengakhiri praktek korupsi di negeri ini? Satu pertanyaan yang patut untuk direnungkan untuk mengubah kesadaran kita, atau Sulawesi Tengggara akan hancur akan korupsi secara umum dan secara Khusus Kabupaten Kolaka yang ladang Korupsi bisa hancur gara-gara korupsi yang merajalela. Baik korupsi di dalam Penyalahgunaan APBD maupun Korupsi dalam pemberian izin-izin kuasa pertambangan yang merusak lingkungan, Persis seperti nasib VOC dulu.







Disuarakan oleh ForSDa pada hari rabu tanggal 27 Januari 2010
Di kantor Kejati Sultra