BAB III
MASYARAKAT DAN
KAIDAH HUKUM
A. Masyarakat dan Tatanan Sosial
Menurut kodratnya manusia adalah
makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga manusia diberikan
akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan
manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia
lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri
manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, manusia
juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah
manusia.
Mengingat manusia tidak dilahirkan
dalam keadaaan yang sama baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis,
sosiologis, maupun ekonomis, sehingga dari perbedaan itulah muncul inter
dependensi (ketergantungan) yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan
sesamanya guna memenuhi kebutuhannya. Dalam kerangka inter relasi manusia
itulah sistem hubungan sosial terbentuk. Dalam sistem hubungan sosial bersifat
sangat kompleks akibat dari kuantitas dan heterogenitas kebutuhan di dalam
kemajemukan manusia dengan pluralitas perbedaanya itu, oleh karena itu upaya
yang dilakukan dalam kompleks inter relasi ini meniscayakan kebutuhan akan satu
hal yaitu keteraturan.
Masyarakat yang menginginkan hidup
aman, tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu memiliki pedoman
bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan
masing-masing dapat terpelihara dan terjamin.
Pergaulan hidup antar manusia tidak
dapat dipisahkan dari pola dan mekanisme-mekanisme tertentu yang tumbuh dan berkembang,
disepakati, dan ditetapkan sebagai pedoman hidup masyarakat. Semakin kompleks
suatu masyarakat, semakin kompleks pula hal-hal yang mesti diatur dan
disepakati untuk menjaga keseimbangan hidup antarwarga masyarakat, termasuk
untuk membangun masyarakat yang bersangkutan.
Perbedaan
kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat apabila dibiarkan lama
kelamaan akan berubah menjadi pertentangan atau konflik. Pertentangan atau
konflik ini selanjutnya dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat apabila
tidak ada aturan yang dapat menyeimbangkannya. Dalam literatur lain disebutkan
bahwa manusia di dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan.
Perlindungan kepentingan itu dapat tercapai dengan terciptanya pedoman atau
peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam
masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman inilah
yang disebut norma atau kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan perumusan
suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau
seyogyanya tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau atau yang dianjurkan
untuk dijalankan.
Seperangkat aturan tentang tingkah
laku, diperlukan agar setiap anggota masyarakat dapat mengetahui bagaimana
eksistensi dan peranannya masing-masing, oleh karena penghargaan terhadap
adanya hak-hak seseorang, akan berjalan berdampingan dengan pelaksanaan kewajiban anggota
masyarakat lainya.
Perangkat aturan bertingkah laku
itulah yang disebut norma atau kaidah. Kaidah atau norma, pada hakikatnya,
adalah tata tertib yang diperlukan dalam hubungan antarmanusia agar dapat
memenuhi kepentingan masing-masing, tanpa merugikan kepentingan yang lainnya.
Dalam konteks bermasyarakat, posisi hukum
dapat dilihat dalam 2 wujud, yaitu:
a)
Hukum sebagai kaidah/norma, dan
b)
Hukum sebagai kenyataan masyarakat
B. Eksistensi
Kaidah/Norma dalam Masyarakat
1. Definisi Kaidah/Norma
Setiap anggota masyarakat
mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Tata itu lazim disebut kaidah
(berasal dari bahasa Arab qo’idah) atau norma (berasal dari bahasa Latin
norm) yang bermakna parameter atau ukuran-ukuran. Atau norm (Inggris), dan dalam Bahasa Indonesia baku disebut kaidah.
Jadi dapat dikatakan bahwa apa yang disebut kaidah adalah patokan atau ukuran
ataupun pedoman untuk berperikelakukan atau bersikap tindak dalam hidup.
Dalam perkembangannya kemudian,
kaidah juga digambarkan sebagai aturan tingkah-laku: sesuatu yang seharusnya
atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam keadaan tertentu. Ada
juga yang menyebutkan kaidah sebagai petunjuk hidup yang mengikat.
Kaidah itu mempunyai dua macam isi,
dan menurut isinya berwujud: perintah dan larangan. Apakah yang dimaksud
perintah dan larangan menurut isi kaidah tersebut? Perintah merupakan kewajiban
bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang
baik. Sedangkan larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat
sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik.
Masyarakat hidup dengan kaidah-kaidah
yang sangat berpengaruh di dalam menentukan perilaku anggota masyarakat
tersebut demi ketertiban dan keserasian di dalam kehidupan bersama, dan di
antara ragam kaidah tersebut terdapat kaidah hukum, yang dipelajari dalam ilmu
pengetahuan hukum atau Rechtwissenschaft (bahasa
Jerman), atau Law Sciences (bahasa
Inggris), atau Ilmu Pengetahuan, atau
Ilmu Hukum.
Pakar hukum Indonesia, Soediman
Kartohadiprodjo, di dalam berbagai karyanya selalu menegaskan, bahwa hukum itu
adalah cermin dari manusia yang hidup. Hukum itu lahir oleh manusia dan untuk
menjamin kepentingan dan hak-hak manusia sendiri. Dari manusia inilah, hukum
dan terapannya akan menentukan apa yang dialami oleh manusia di dalam pergaulan
hidup.
Dengan demikian, keberadaan dari kaidah
hukum tersebut sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
yang menjadi tempat bagi dilahirkannya hukum yang bersangkutan. Sehingga dari
kenyataan ini juga, maka terciptalah sebuah istilah di dalam bahasa Latin,
yakni ubi societas, ibi ius, yang
artinya adalah “dimana ada masyarakat, disitu ada hukum”. Hal ini pulalah yang
menjadi sebab mengapa di dalam mempelajari kaidah hukum tersebut, tetap tidak
boleh terlepas dari mempelajari tentang manusia dan tingkah lakunya di dalam
masyarakat.
2. Jenis-jenis
Kaidah
Sebagai jenis
kaidah, yang mengatur tingkahlaku warga masyarakat maka hukum hanya satu
diantara berbagai jenis kaidah lainnya. Macam-macam kaidah tersebut. Gustav
Radbruch dalam Ahcmad Ali
membedakan kaidah atas:
a.
Kaidah Alam
b.
Kaidah Kesusilaan
Kaidah Alam
merupakan kaidah yang menyatakan tentang apa yang pasti akan terjadi,contohnya:
Semua manusia pasti meninggal. Jadi kaidah alam ini merupakan kesesuaian dengan
kenyataan mengemukakan sesuatu yang memang telah demikian.
Kaidah
kesusilaan merupakan kaidah yang menyatakan tentang sesuatu yang belum pasti
terjadi, sesuatu yang seharusnya terjadi. Contohnya: Manusia seharusnya tidak
membunuh. Ini berarti ada dua kemungkinan manusia bisa membunuh, tetapi bisa
juga tidak membunuh. Kaidah kesusilaan merupakan kaidah yang meskipun ia kelak
ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Kaidah kesusilaan menggambarkan suatu
rencana atau keadaan yang ingin dicapai.
Dalam keadaan
itu, Radbruch menggolongkan kaidah hukum ke dalam jenis kaidah kesusilaan.
Dengan demikian, pengertian yang diberikan oleh Radbruch tentang kaidah
kesusilaan adalah pengertian dalam arti luas.
Achmad Ali
menamakan kaidah kesusilaannya Radbruch itu sebagai kaidah sosial, yang di
dalamnya tercakup: kaidah kesusilaan atau moral, kaidah hukum, kaidah
kesopanan, dan kaidah agama.
Dalam berbagai
literatur hukum modern, kaidah-kaidah yang hidup dalam masyarakat di klasifikasikan
dalam 4 (empat) kaidah, yaitu:
1. Kaidah
Kesusilaan atau Moral
Kaidah
kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari
manusia. Maka dari itu kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai
individu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia.
Sebagai pendukung kaidah kesusilaan adalah nurani individu dan bukan manusia
sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir.
Pelanggaran
terhadap kaidah kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat
penyesalan. kaidah kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh
seluruh umat manusia.
Salah satu
ciri kaidah kesusilaan dibandingkan dengan kaidah hukum adalah sifat kaidah
kesusilaan yang otonom, artinya diikuti atau tidaknya aturan tingkahlaku
tersebut tergantung pada sikap batin manusia tersebut. Sebagai contoh: Mencuri
itu perbuatan yang terlarang. Kaidah kesusilaan itu dituruti oleh manusia,
bukan karena manusia tadi takut pada sanksi berdosa pada Tuhan, melainkan kata
batinnya sendiri yang menganggap perbuatan itu tidak patut dilakukan.
Ciri-ciri Kaidah
kesusilaan atau moral adalah:
a.
Sumbernya diri sendiri/otonom
b.
Saksinya bersifat internal, artinya berasal
dari perasaan si pelaku sendiri
c.
Isinya ditujukan pada sikap batin
d.
Bertujuan demi kepentingan si pelaku, agar dia
menyempurnakan diri sendiri.
e.
Daya kerjanya lebih menitikberatkan pada
kewajiban
2. Kaidah
Agama atau Kepercayaan
Kaidah agama
adalah aturan tingkah laku yang diyakini oleh penganut agama tertentu sebagai
berasal dari Tuhan. Aturan itu dapat berupa peraturan hidup dalam bentuk
perintah-perintah, larangan-larangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari
Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari
Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak di akhirat. Sebagai contoh: Pemeluk
Agama Islam menyakini bahwa kewajiban menjalankan shalat 5 waktu bersumber dari
pemerintah Allah SWT.
Kaidah
kepercayaan atau keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman. Kaidah ini
ditujukan terhadap kewajiban manusia kepada Tuhan dan kepada dirinya
sendirinya. Sumber atau asal kaidah ini adalah ajaran-ajaran kepercayaan atau
agama yang oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan.
Kaidah agaman
inipun masih dibedakan atas kaidah agama yang khusus mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, kaidah agama yang khusus mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya manusia. Kaidah agama Islam misalnya, masih dibedakan atas kaidah
dengan sanksinya di dunia, dan kaidah dengan sanksinya di akhirat kelak.
Ciri-ciri
kaidah Agama atau kepercayaan adalah:
a.
Sumbernya dari Tuhan
b.
Saksinya bersifat internal, yaitu dosa
(kecuali kaidah Agama Islam karena Islam merupakan suatu ajaran dunia dan
akhirat, maka kaidah Islam pun memiliki sanksi eksternal yang bersumber dari
Tuhan, dan diterapkan di dunia oleh pemimpin umat yang diberi wewenang untuk
itu)
c.
Isinya ditujukan kepada sikap batin (kecuali
kaidah agama Islam, juga ditujukan kepada sikap lahir)
d.
Daya kerjanya lebih menitikberatkan pada
kewajiban daripada hak
3. Kaidah
Kesopanan atau kebiasaan
Kaedah
kesopanan didasarkan atas kebiasaan, kepatutan atau kepantasan yang berlaku
dalam masyarakat. Kaidah kesopanan ditujukan kepada sikap lahir pelakunya yang
konkrit demi penyempurnaan atau ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan
perdamaian, tata tertib atau membuat “asri” lalu lintas antara manusia yang
bersifat lahiriah.
Kaidah
kesopanan timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur
pergaulan sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati.
Akibat dari pelanggaran terhadap kaidah ini ialah dicela sesamanya, karena
sumber kaidah ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri.
Termasuk sanksi
bagi pelanggar terhadap kaidah ini adalah berwujud teguran, cemoohan,
pengucilan dan sejenisnya yang dilakukan oleh warga masyarakat secara tidak terorganisir,
melainkan dilakukan secara sendiri-sendiri oleh warga masyarakat tertentu.
Sebagai contoh: jika si A seorang gadis remaja datang kekampusnya dengan
mengenakan pakaian yang seronok, yang dianggap oleh masyarakat kampusnya dengan
mengenakan pakaian yang seronok, yang dianggap oleh masyarakat kampusnya
sebagai “tidak sopan”, maka warga kampus akan memberikan sanksi si A dengan
celaan, teguran, cercaaan atau bahkan si A dikucilkan dari pergaulan di
kampusnya.
Artinya,
hakikat kaidah kesopanan atau kebiasaan adalah kepantasan, kepatutan, atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah kesopanan sering disebut sopan
santun, tata krama atau adat istiadat. Kaidah kesopanan tidak berlaku bagi
seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan
hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan
bagi segolongan masyarakat negara tertentu, mungkin akan berbeda bagi
masyarakat di daerah lain.
Dengan
demikian, baik kesopanan maupun kebiasaan atau tradisi merupakan kaidah yang
keberadaannya dalam masyarakat diterima sebagai aturan yang mengikat walaupun
tidak ditetapkan oleh pemerintah. Kebiasaan atau tardisi adalah tingkah laku
dalam masyarakat yang dilakukan berulang-ulang mengenai sesuatu hal yang sama,
yang dianggap sebagai aturan hidup. Kebiasaan dalam masyarakat sering disamakan
dengan tradisi dan adat istiadat. Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan
sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib.
Ada pula yang menganggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun yang
turun temurun.
Pada umumnya
adat istiadat merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci (sakral)
dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah turun temurun, sedangkan
kebiasaan tidak merupakan tradisi rakyat.
Ciri-ciri
Kaidah Kesopanan atau keibiasaan adalah sebagai berikut:
a.
Sumbernya dari masyarakat secara tidak
terorganisir
b.
Saksinya bersifat eksternal dalam wujud
celaan, cercaan, teguran atau dan pengucilan
c.
Isinya ditujukan pada sikap lahir
d.
Bertujuan untuk ketertiban masyarakat
e.
Daya kerjanya lebih dititiberatkan pada
kewajiban.
4. Kaidah
Hukum
Di samping
kaidah Agama atau kepercayaan, kaidah kesusilaan atau/moral, kaidah kesopanan
atau kebiasasan, juga tumbuh yang bernama kaidah hukum. Kaidah hukum adalah
peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara.
Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan
segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama.
Kaidah hukum
ini melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat
perlindungan dari ketiga kaidah lainnya dan melindungi kepentingan-kepentingan
manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaidah yang lain. Isi
kaidah hukum itu ditujukan kepada sikap lahir manusia. Kaidah hukum
mengutamakan perbuatan lahir. Pada hakekatnya apa yang dibatin, apa yang
dipikirkan manusia tidak menjadi soal.
Kaidah hukum
ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit, yaitu di pelaku pelanggaran
yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk
ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban
kejahatan, agar tidak terjadi kejahatan.
Meskipun
prinsip-prinsip tentang yang baik dan yang buruk, pada hakikatnya, sudah diatur
dalam kaidah-kaidah kepercayaan,kesusilaan, dan kesopanan, namun kaidah hukum
tetap dipandang mutlak diperlukan.
Sebagai
perlindungan kepentingan manusia kaidah kepercayaan atau keagamaan, kaidah
kesusilaan dan kaidah sopan santuan atau adat dirasakan belum cukup memuaskan, maka
terdapat dua alasan mengapa kaidah hukum menjadi penting, yaitu:
1.
Masih banyak kepentingan-kepentingan manusia
lainnya yang memerlukan perlindungan, tetapi belum mendapat perlindungan dari
ketiga kaidah sosial tersebut.
2.
Kepentingan-kepentingan manusia yang telah
mendapat perlindungan dari ketiga kaidah sosial tersebut, belum cukup
terlindungi, karena dalam hal terjadi pelanggaran kaidah. Kaidah tersebut
reaksi atau saksinya dirasakan belum cukup memuaskan:
a.
Kaidah kepercayaan atau keagamaan tidaklah
memberikan sanksi yang dapat dirasakan secara langsung di dunia ini.
b.
Kaidah kesusilaan dilanggar hanyalah akan
menimbulkan rasa malu, rasa takut, rasa bersalah atau penyesalan saja pada si
pelaku. Kalau ada seorang pembunuh tidak ditangkap dan diadili, tetapi masih
berkeliaran, masyarakat akan merasa tidak aman, meskipun si pembunuh itu
dicekam oleh rasa penyesalan yang sangat mendalam dan dirasakan sebagai suatu
penderitaan sebagai akibat pelanggaran yang dibuatnya.
c.
Kaidah sopan santun dilanggar atau diabaikan
hanyalah menimbulkan celaan, umpatan atau cemoohan saja. Sanksi inipun
dirasakan masih kurang cukup memuaskan, karena dikhawatirkan pelaku pelanggaran
akan mengulangi perbuatannya lagi karena sanksinya dirasakan terlalu ringan.
Karena dua
sebab tersebut, maka kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat belum
cukup terlindungi dan terjamin, dan untuk tujuan itulah kaidah hukum dibuat.
Kaidah hukum, ditujukan kepada pelaku yang konkret, yang nyata-nyata berbuat,
bukanlah untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk menjaga ketertiban
masyarakat serta mencegah agar perbuatan seseorang tidak menimbulkan korban.
Keistimewaan
kaidah hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman
hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum
bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu
kekuasaan negara. Kaidah hukum biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan yang
tertulis, atau disebut juga perundang-undangan. Perundang-undangan baik yang
sifatnya nasional maupun peraturan daerah dibuat oleh lembaga formal yang
diberi kewenangan untuk membuatnya. Oleh karena itu, kaidah hukum sangat
mengikat bagi warga negara.
Di samping
itu, sifatnya yang normatif dan atributif (membebani hak dan kewajiban)
menyebabkan kaidah hukum sangat berbeda dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.
Berikut
perbandingan antar kaidah:
|
Kaidah Kepercayaan
|
Kaidah Kesusilaan
|
Kaidah Sopan Santun
|
Kaidah Hukum
|
Tujuan
|
Umat manusia. Penyempurnaan manusia jangan sampai manusia jahat.
|
Perbuatannya yang konkrit. Ketertiban masyarakat jangan sampai ada
korban.
|
Isi
|
Ditujukan kepada sikap batin.
|
Ditujukan kepada sikap lahir.
|
Asal Usul
|
Dari Tuhan
|
Dari diri sendiri
|
Kekuasaan luar yang memaksa
|
Sanksi
|
Dari Tuhan
|
Dari diri sendiri
|
Dari masyarakat secara tidak resmi
|
Dari masyarakat secara resmi.
|
Daya Kerja
|
Membebani kewajiban
|
Membebani kewajiban
|
Membebani kewajiban
|
Membebani kewajiban danmemberi hak.
|
C. Kaidah
Hukum sebagai Kaidah Sosial
Kaidah
hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifkan secara resmi oleh
penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya
dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga berlakunya
kaidah hukum dapat dipertahankan. Kaidah hukum tidak mempersoalkan apakah sikap
batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikannya adalah bagaimana
perbuatan lahiriyah orang itu. Hukum sebagai kaidah adalah sebagai pedoman atau
patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
Pada
konteks ini, kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial mempunyai 2 sifat
alternatif, yaitu:
a)
Ada kemungkinan bersifat imperatif, yaitu
secara a’priori wajib ditaati. Kaidah ini tidak dapat dikesampingkan dalam
suatu keadaan konkrit, hanya karena para pihak membuat perjanjian
b)
Ada kemungkinan bersifat fakultatif, yaitu
tidaklah secara a’priori mengikat atau wajib ditaati. Jadi kaidah yang bersifat
fakultatif ini merupakan kaidah hukum yang di dalam keadaan konkrit dapat
dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Roscoe Pound
dalam Achmad Ali menggangap bagaimanapun
kaidah hukum merupakan suatu kekangan terhadap kebebasan manusia, dan kekangan
itu walaupun sedikit, berdasarkan pada pembenaran yang kuat. Roscoe Pound juga mengemukakan
12 sifat kaidah hukum yang lazim dianut orang, dikemukan sebagai berikut:
a)
Kaidah hukum sebagai suatu kaidah atau
seperangkat kaidah yang diturunkan Tuhan untuk mengatur tindakan manusia.
b)
Kaidah hukum merupakan suatu tradisi dari
kebiasaan lama yang ternyata dapat diterima oleh dewa-dewa dan karena itu
menunjukan jalan yang boleh ditempuh manusia dengan aman.
c)
Kaidah hukum sebagai kebijaksaan yang dicatat
dari para budiman di masa yang lampau yang telah mempelajari jalan yang
selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan.
d)
Kaidah hukum merupakan satu sistem asas-asas
yang ditemukan secara filsafat, yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena
itu manusia harus menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu.
e)
Kaidah hukum sebagai satu himpunan penegasan
dan pernyataan dari satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak
berubah-ubah.
f)
Kaidah hukum sebagai satu himpunan persetujuan
yang dibuat manusia di dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan
yang mengatur hubungan antara seseorang dengan pihak lain.
g)
Kaidah hukum sebagai satu pencerminan dari
bagian dari akal Ilahi yang menguasai alam semesta ini, satu pencerminan dari
bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai
satuan yang berkesusilaan, yang berbeda dengan yang mesti dilakukan, yang
ditujukan kepada makhluk selain, manusia.
h)
Kaidah hukum sebagai satu himpunan perintah
dari penguasa yang berdaulat di dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu
sistem kenegaraan, tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat
itu, dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap
terhadap di belakang wewenang yang berdaulat itu.
i)
Kaidah hukum sebagai satu sistem perintah yang
ditemukan oleh pengalaman manusia yang menunjukan bahwa kemauan tiap manusia
perseorang akan mencapai kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan dengan
kebebasan serupa itu pula yang diberikan kepada kemauan orang-orang lain.
j)
Kaidah hukum sebagai satu sistem asas-asas,
yang ditemukan secara filsafat dan dikembangkan sampai kepada perinciannya oleh
tulisan-tulisan sarjana hukum dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan
tulisan dan putusan itu kemauan orang yang bertindak diselaraskan dengan
kehendak orang lain.
k)
Kaidah hukum sebagai seperangkat sistem kaidah
yang dibebankan atas manusia di dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa
untuk sementara buat memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan
dengan sadar maupun tak sadar.
l)
Kaidah hukum sebagai perintah dari
aturan-aturan ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia
di dalam masyarakat yang ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah
yang disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa yang akan terpakai dan
apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggara peradilan.
Dalam ilmu
hukum ada istilah das sollen dan das sein. Das sollen
disebut kaidah hukum yang menerangkan kondisi yang diharapkan. Sedangkan das
sein dianggap sebagai keadaan yang nyata. Das sein tidak selalu sejalan
dengan das sollen. Salah satunya karena penafsiran yang berbeda terhadap kaidah
hukum tersebut. Contohnya, fonemena yang terjadi di jalanan kota besar seperti
Jakarta, Medan, Surabaya. Bisa jadi terjadi di kota-kota lain.
Lampu
kuning pada lampu lalu lintas dapat ditafsirkan dua hal. Pertama, sudah
tidak hijau. Kedua, masih belum merah. Penafsiran keduanya menimbulkan
tindakan yang berbeda. Orang yang menafsirkan lampu kuning sebagai sudah tidak
hijau, otomatis akan mengurangi kecepatan. Sedangkan orang yang menafsirkan
belum merah, akan menambah kecepatan kendaraannya. Potensi akibat yang muncul
dari dua penafsiran itu jelas berbeda, pilihan menambah kecepatan dapat
menyebabkan kecelakaan.
Sedangkan
pilihan kedua dapat terhindar dari kecelakaan. Makna pokok lampu kuning adalah
hati-hati dengan mengurangi kecepatan. Ini yang menjadi tujuan hukum yang
disimbolkan dengan lampu kuning itu. Tetapi, yang terjadi di jalanan, simbol
hukum itu diabaikan. Sebagian besar menafsirkan tidak sesuai dengan tujuan
hukum itu. Namun, penafsirannya akan menjadi sama yaitu lampu kuning sebagai
sudah tidak hijau ketika ada polisi di sekitar lampu lalu lintas itu. Sehingga
hukum tidak bisa bekerja sendiri dan mensyaratkan adanya aktor penegak hukum.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Tentu karena beberapa faktor.
Dalam
berinteraksi, manusia dikendalikan oleh nilai pribadi, ajaran agama, dan nilai
komunitas. Adanya hukum bersifat menyempurnakan tiga aturan itu bagi manusia
untuk berinteraksi di masyarakat. Keempatnya disebut sebagai kaidah sosial.
Masing-masing kaidah mempunyai sasaran dan ruang lingkup yang berbeda. Nilai pribadi
yang disebut sebagai kaidah susila dan nilai agama merupakan kaidah yang
bersifat subyektif. Sumber ketaatannya bergantung pada diri sendiri. Perhatikan
ragaan berikut:
Manusia
bisa mengelak atau membantah untuk tunduk pada kaidah tersebut berdasarkan
pertimbangan pribadi. Sasarannya adalah nilai bathin manusia. Sedangkan, nilai
komunitas yang disebut juga kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat
obyektif. Ketaatannya dipengaruhi oleh faktor dari luar diri, misal adanya
ancaman sanksi dan aparat penegak hukum yang mengawasi. Di sini manusia tidak
bisa lagi mengelak untuk tunduk pada kaidah itu karena adanya sanksi yang
langsung. Dua kaidah terakhir ini mempunyai sasaran pada sikap lahir manusia.
Selama ini
pemahaman kaidah hukum dipisahkan dari kaidah lain. Mentaati lampu lalu lintas
sebatas karena adanya peraturan dan pengawas. Tetapi, akan berbeda apabila
ketaatan ini juga dimotivasi karena ingin berbuat baik, memperoleh nilai
positif dari sisi keyakinannya dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain.
Tidak mau korupsi bukan semata agar tidak ditangkap KPK, tetapi karena ingin
menghindari rasa menyesal, berdosa dan menghargai hak rakyat.
Pempimpin
Indonesia yang memimpin sebuah negara hukum ini perlu memahami bahwa membangun
kesadaran hukum harus diimbangi dengan membangun kesadaran terhadap kaidah
lainnya terutama dalam hubungan antar manusia. Sehingga ketika hukum dan
penegaknya bermasalah dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum melemah, masih
ada kaidah lain yang mengendalikan perilaku manusia untuk membangun bangsa dan
memperbaiki hukum itu sendiri. Semisal dengan kaidah kesopanan, kebiasaan,
kesusilaan, dan kegamaan yang baik.
D. Lahirnya
Kaidah Hukum
Mengenai
asal-usul kaidah hukum, pada pokoknya dapat dibedakan atas dua macam:
1.
Kaidah hukum yang berasal dari kaidah-kaidah
sosial lain di dalam masyarakat, yang dalam istilah Paul Bohannan dinamakan:
kaidah hukum yang berasal dari proses double
legitimacy atau pemberian ulang legitimasi dari suatu kaidah sosial non
hukum (moral, agama, kesopanan) menjadi suatu kaidah hukum.
Contohnya: Larangan
membunuh telah dikenal sebelumnya dalam kaidah agama, kaidah moral, dan melalui
proses pelembagaan kembal diubah menjadi kaidah hukum yang dituangkan dalam
Pasal 338 KUHP
2. Kaidah hukum yang diturunkan oleh otoritas
tertinggi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu, dan langsung
terwujud dalam wujud kaidah hukum, serta sama sekali tidak berasal dari kaidah
sosial lain sebelumnya. Contohnya: Undang-undang Lalulintas dan Angkutan Jalan.
Namun, secara sosiologikal, hukum dibentuk karean dua alasan, yaitu:
- Gejala Sosial: Dalam masyarakat telah berlaku
nilai atau kondisi yang tidak telepas dari masyarakat. Hukum dibentuk
untuk memberikan landasan yuridis terhadap kenyataan tersebut. Sehingga
hukum tidak terlepas dari masyarakat hukum tidak statis tetapi bersifat
dinamis, karena selalu mengikuti perkembangan masyarakat.
- Hukum sebagai rekayasa sosial: hukum dimaksudkan
untuk merubah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang dapat
mengganggu perkembangan masyarakat dimasa mendatang. Perubahan nilai yang
di legalisir ini dapat menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam
masyarakat. Karenanya diperlukan penyuluhan hukum secara meluas dalam
masyarakat.
Kaidah hukum merupakan kaidah yang lahir
dari kehendak manusia, yang dilandasi oleh nilai-nilai ideal dan kenyataan pada
tatanan kebiasaan. Ini dapat di cermati dari ragaan berikut:
Menurut Radbruch, nilai-nilai dasar hukum yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian
hukum, terdapat ketegangan satu sama lainnya, kerena ketiganya berisi tuntutan
yang berlain-lainan satu sama lain. Misalnya kepastian hukum akan menggeser
nilai keadilan dan kegunaan. Bagi kepastian hukum yang utama adalah adanya
peraturan-peraturan, adil dan kegunaan bagi masyarakat diluar pengutamaan nilai
kepastian hukum. Dengan adaya nilai-nilai yang berbeda tersebut maka penilaian tentang keabsahan hukum dapat bermacam-macam. Perhatikan
ragaan berikut:
Nilai-nilai Dasar
|
|
Keabsahan
Berlaku
|
Keadilan
|
|
Filsafati
|
Kegunaan
|
Hukum
|
Sosiologis
|
Kepastian hukum
|
|
Yuridis
|
(Satjipto
Rahardjo, 14-23)
Ciri kaidah
hukum yang menonjol, mulai tampak pada penciptaan kaidah-kaidah hukum yang
“murni”, yaitu yang dibuat secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam
masyarakat yang khusus ditugasi untuk itu. Pada proses ini, terlihat bahwa
tatanan tersebut didukung oleh kaidah-kaidah yang secara sengaja dan sadar
dibuat untuk menegakkan suatu jenis ketertiban tetentu dalam masyarakat
Paul Bohannan,
mengetengahkan pandangannya, yang kemudian dikenal sebagai ajaran “reinstutionalization of norms”, bahwa
suatu lembaga hukum merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat untuk
menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi, dan untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan aturan-aturan yang terhimpunan di dalam pelbagai
lembaga kemasyarakat. Setiap masyarakat memiliki lembaga-lembaga hukum dan juga
lembaga-lembaga non hukum.
E. Sanksi
Kaidah Hukum
Hukum
memiliki karakter mengatur kepentingan yang bersifat relasional antar manusia.
Tujuannya untuk mencapai dan melindungi kepentingan bersama. Kepentingan yang
sifatnya relasional antara manusia ini akan menimbulkan permasalahan dan
konflik apabila diserahkan kepada kaidah yang sifatnya subyektif. Keinginan
individu dan kelompok yang akan menonjol. Mengabaikan kepentingan dan tujuan
bersama. Oleh karena itu, kaidah hukum harus dijaga agar mendapatkan
kepercayaan sebagai pengatur kepentingan bersama.
Permasalahannya,
di Indonesia antara hukum dan penegaknya saat ini mengalami krisis, bangkrut
dan degradasi. Penguasa negara yang memiliki otoritas membentuk hukum juga
tidak menunjukkan perilaku baik di depan hukum. Sebaliknya, banyak kejadian
yang menggambarkan pembentuk hukum sedang bermasalah di hadapan hukum. Kondisi
kebangkrutan hukum ini harus menjadi tanggungjawab penguasa sebagai pembentuk
dan penegak hukum. Tugas penguasa adalah memperbaiki hukum, penegakan hukum dan
menjaga kaidah hukum di masyarakat.
Penerapan
kaidah yang bersifat subyektif dalam diri manusia akan mempengaruhi putusan
tindakan untuk tidak melakukan perbuatan jahat. Kaidah ini yang menimbulkan
niat seseorang untuk berperilaku tertentu. Pelanggararannya akan menimbulkan
sanksi menyesal atau merasa berdosa.
Sedangkan,
nilai komunitas dan kaidah hukum yang tingkat ketaatannya tergantung pada
faktor luar dapat menutup peluang atau kesempatan terjadinya tindakan
kejahatan. Masalahnya ketika faktor luar itu tidak ada, peluang pelanggaran dan
perilaku kejahatan terbuka. Di sinilah pentingnya kaidah subyektif dan obyektif
untuk menutup terjadinya kejahatan atau pelanggaran dari tidak hanya dari niat
tetapi juga adanya kesempatan.
Dalam konteks
ini, kaidah hukum dan sanksi hukum merupakan dua serangkai yang tidak
terpisahkan. Tanpa sanksi, maka kaidah hukum akan tinggal sebagai “macan
ompong” yang tidak berguna. Kaidah
hukum akan kehilangan identitas yang menjadi pembedanya dengan kaidah-kaidah
sosial lain di masyarakat. Saksi merupakan atribut yang sangat penting agar
kaidah hukum dapat berlaku dan ditaati, karena suatu kaidah hukum seringkali
tidak dipatuhi secara sukarela oleh masyarakat.
Hukum dan sanksi dapat
diibaratkan dua sisi uang yang satu saling melengkapi. Hukum tanpa sanksi
sangat sulit melakukan penegakan hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa norma
sosial tanpa sanksi hanyalah moral, bukan hukum, sebaliknya sanksi tanpa
hukum dalam arti kaidah akan terjadi kesewenang-wenangan penguasa. Sanksi
selalu terkait dengan norma hukum atau kaidah hukum dengan norma-norma lainnya,
misalnya norma kesusilaan, norma agama atau kepercayaan, norma sopan santun.
Dengan sanksilah maka dapat dibedakan antara norma hukum dengan norma
lainnya sebagaimana dikatakan oleh Hans Kelsen berikut, bahwa :
“Perbedaan mendasar antara hukum dan
moral adalah : hukum merupakan tatanan pemaksa, yakni sebuah tatanan norma yang
berupaya mewujudkan perilaku tertentu dengan memberikan tindakan paksa yang
diorganisir secara sosial kepada perilaku yang sebaliknya; sedangkan moral
merupakan tatanan sosial yang tidak memiliki sanksi semacam itu. Sanksi dari
tatanan moral hanyalah kesetujuan atas perilaku yang sesuai norma dan
ketidaksetujuan terhadap perilaku yang bertentangan dengan norma, dan
tidak ada tindakan paksa yang diterapkan sebagai sanksi...”
Selain norma hukum, terdapat norma sosial yang
mengatur perilaku manusia terhadap sesamanya, yang biasa disebut ”moral” dan
disiplin ilmu yang ditujukan untuk memahami dan menjelaskannya disebut ”etika”.
Antara keadilan dan kepastian hukum tercakup hubungan moral dengan hukum
positif. Bila keadilan merupakan dalil atau tujuan dari moral, maka kepastian
hukum merupakan tujuan dari hukum positif. Di mana tidak ada kepastian
hukum, di situ tidak ada keadilan. Bila keadilan bersifat relatif, maka kepastian
hukumlah yang menjadi kebenaran.
Sebuah negara merupakan sebuah komunitas hukum yang
berkeadilan. Bila keadilan sejati tidak ada, maka hukum juga tidak ada. Karena
apa yang diperbuat oleh hukum, diperbuat pula oleh keadilan, dan apa yang
dilakukan secara tidak adil, berarti terjadi pelanggaran hukum. ”Namun apakah
keadilan itu?” Keadilan adalah kebaikan yang memberikan apa yang menjadi hak
semua orang. Hukum merupakan tatanan pemaksa yang adil dan dibedakan dari
tatanan pemaksa pada kalangan perampok lantaran isinya yang berkeadilan.
Darji Darmodiharjo mengutip Lyons (1995 :14) bahwa
”Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau
sebaliknya”. Hal ini bersesuaian dengan apa yang dikatakan oleh Kelsen (2007 :
78) bahwa ”norma hukum bisa dianggap valid sekalipun ia berlainan dengan
tatanan moral.” Kemudian Darmodiharjo, mengutip John Austin, bahwa hukum
adalah perintah dari penguasa negara yang menentukan apa yang dilarang dan apa
yang diperintahkan. Kekuasaan penguasa itu memaksa orang lain untuk taat. Ia
memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku
orang lain kearah yang diinginkannya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat
unsur, yaitu (1) perintah (command), (2) Sanksi (sanction),
(3) kewajiban (duty),dan (4) kedaulatan (sovereignty).
Kaum positivisme termasuk Hart memandang hukum sebagai
perintah dan menempatkan sanksi sebagai suatu yang melekat pada hukum,
mengaitkan antara unsur paksaan dengan hierarki perintah secara formal. Mereka
membedakan norma hukum dan norma-norma lainnya karena pada norma hukum
dilekatkan suatu paksaan atau sanksi.
Hukum termasuk sollenskatagori atau sebagai
keharusan, bukan seinskatagori atau sebagai kenyataan. Orang menaati
hukum karena memang seharusnya ia menaati sebagai perintah negara. Melalaikan
perintah akan mengakibatkan orang itu berurusan dengan sanksi. Aliran hukum
positif memberikan penegasan terhadap hukum yaitu bentuk hukum adalah
undang-Undang, isi hukum adalah perintah penguasa, ciri hukum adalah sanksi,
perintah, kewajiban dan kedaulatan, sistematisasi norma hukum menurut Hans
Kelsen adalah hierarki norma hukum.
Terkait sanksi ini, Wirjono Prodjodikoro memberikan uraiannya, khususnya terhadap hukum pidana, bahwa:
...ada dua unsur pokok hukum
pidana. Pertama, adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau suruhan
(kaidah). Kedua, adanya sanksi (sanctie) atas pelanggaran norma itu
berupa ancaman dengan hukum pidana...norma-norma yang disertai sanksi pidana
berada dalam salah satu atau lebih dari tiga bidang hukum, yaitu hukum perdata
(privaatrecht, burgerlijk recht), hukum tatanegara (staatsrecht), dan atau
hukum tata usaha negara (administratief recht).
Menurut pandangan positivisme hukum dari John Austin
yang mengajarkan bahwa apa yang disebut hukum adalah aturan yang dibuat oleh
penguasa, suatu aturan tingkah laku yang tidak dibuat oleh ”penguasa formal”
bukanlah hukum, dan pada masyarakat yang tidak mengenal organisasi formal tidak
dikenal adanya hukum.
Selama ini, terdapat
tiga kemungkinan sikap yang di tunjukkan masyarakat terhadap sebuah kaidah
hukum, yaitu taat, melanggar, ataukah menghindar. Berdasarkan ketiga jenis
kemungkinan sikap masyarakat itu, sangat mungkin terjadi bahwa seseorang tidak
mematuhi kaidah hukum secara sukarela, bahkan melanggarnya. Oleh karena itu,
penerapan sanksi seringkali dipandang sebagai alternatif terampuh dalam rangka
menegakkan hukum.
Meskipun
kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, dan kesopanan juga memilik sanksi, akan
tetapi karena sifat sanksinya yang tidak tegas, sehingga ketentuan
kaidah-kaidah tersebut cenderung diabaikan oleh anggota masyarakat. Untuk
itulah, kaidah hukum dengan sanksinya yang “istimewa”, dibuat untuk menutupi kelemahan
tersebut.
Keistimewaan
sanksi kaidah hukum, adalah sebagai berikut:
a.
Sifat sanksinya yang tegas; dapat dipaksakan
(melalui aparat pelaksana hukum) secara langsung termasuk kepadda mereka yang
tidak sukarela (tidak memiliki kesadaran hukum) untuk menaatinya. Ketegasan
sanksi hukum juga dapat dilihat pada penjatuhan sanksi yang dapat memaksa
seseorang untu menaatinya, seperti: penjara, denda, dan sebagainya.
b.
Sanksi kaidah hukum bersifat eksternal; ada
paksaan dari luar diri manusia untuk menaatinya. Paksaan dari luar ini, tentu
saja, lebih efektif dibanding sanksi-sanksi yang bersifat internal (rasa
menyesal, berdosa), oleh karena seseorang yang tidak menaati kaidah hukum
secara sadar, akan dipaksakan untuk itu.
c.
Sanksi kaidah hukum berasal dari pemegang
otoritas di masyarakat, yaitu negara, sehingga kemungkinan pemaksaan dengan
menggunakan alat-alat kekuasaan negara, akan lebih menjamin terlaksananya
kaidah hukum dibandingkan dengan kaidah-kaidah sosial yang lain.
Dengan
demikian, sanksi merupakan atribut kaidah hukum yang sangat penting agar dapat
mengefektifkan hukum di masyarakat. Tanpa sanksi, maka hukum akan tetap menjadi
“macan ompong” yang tidak akan efektif berlaku dalam berbagai kemungkinan sikap
masyarakat terhadapnya, terutama bagi mereka yang tidak memiliki apa yang
disebut secara populer sebaga “kesadaran hukum.”
F. Hukum dan Eksistensi Negara
Sudah
menjadi kodrat bagi setiap manusia untuk hidup sebagai makhluk sosial, hidup di
antara manusia lain dalam suatu pergaulan masyarakat. Hal ini disebabkan
manusia itu cenderung mempunyai keinginan untuk selalu hidup bersama (appetitus
societatis). Hal inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai zoon
politicon yang berarti manusia itu adalah makhluk sosial dan politik (man
is a social and politic being). P.J Bouman mengatakan “de mens wordt
eerst mens door samenleving met anderen, yang artinya manusia itu baru
menjadi manusia karena ia hidup bersama dengan manusia lainnya”.
Sistem dan
siklus kehidupan bersama antara satu manusia dengan manusia yang lain itulah
yang dinamakan sebagai masyarakat. Masyarakat merupakan kehidupan bersama yang
anggota-angotanya mengadakan pola tingkah laku yang maknanya dimengerti
oleh sesama anggota. Masyarakat
merupakan suatu kehidupan bersama yang terorganisir untuk mencapai dan
merealisir tujuan bersama. Masyarakat merupakan kelompok atau kumpulan manusia,
tidak penting berapa jumlahnya, yang penting lebih dari satu manusia.
Kehidupan bersama dalam masyarakat tidak didasarkan pada adanya beberapa
manusia secara kebetulan bersama, tetapi didasarkan pada adanya kebersamaan
tujuan.
Dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, kaidah-kaidah sosial diperlukan sebagai pedoman bagi tingkah laku
manusia dan untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat,
demikian pula dengan hukum. Cicero, pernah menyebutkan sebuah adagium “ubi
societas ibi ius” yang kalau diartikan “dimana ada masyarakat disitu ada
hukum”. Teori Cicero ini didukung oleh Van Apeldoorn yang mengatakan bahwa
“hukum ada di seluruh dunia, dimana ada masyarakat manusia”.
Dari kedua
teori di atas, jika dikaitkan dengan konteks negara, pertanyaannya menjadi “apa
hubungan antara masyarakat, negara dan hukum?”. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, perlu untuk dikupas satu persatu hubungan diantara ketiganya. Pertama
dilihat terlebih dahulu hubungan antara masyarakat dan negara. Jika merujuk
pada pengertian negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena
mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung
daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu
(Harold J.Laski).
Atau
merujuk pada pemahaman sederhana bahwa negara adalah kekuasaan terorganisir
yang mengatur masyarakat hukum untuk mewujudkan tujuantujuan tertentu demi
kesejahteraan bersama, maka
tampak sekali hubungan diantara keduanya, bahwa masyarakat (yang terdiri dari kumpulan
individu/manusia) adalah bagian dari negara (salah satu unsur persyaratan terbentuknya
negara) dan negara memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakatnya
agar dapat mewujudkan cita dan tujuan dari masyarakat dan negara tersebut.
Mac Iver
mengemukakan teorinya “bahwa negara adalah anak, tetapi juga orang tua dari
hukum”. Maksudnya bahwa negara adalah anak dari hukum, artinya negara dilahirkan
oleh hukum. Di samping itu, negara adalah orang tua dari hukum, maksudnya bahwa
negara melahirkan hukum.
Dari
pemahaman atas ulasan satu persatu hubungan di antara ketiganya, dapat
disimpulkan bahwa masyarakat (yang terdiri dari kumpulan individu/manusia)
adalah bagian dari negara (salah satu unsur persyaratan terbentuknya negara)
dan negara memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakatnya
melalui pranata/media hukum agar cita dan tujuan dari masyarakat dan negara
tersebut dapat mewujudkan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, bahwa masyarakat
merupakan bagian dari negara dan negara memiliki kekuasaan untuk membentuk
hukum yang mengatur masyarakat demi terwujudnya cita dan tujuan masyarakat dan
negara tersebut.
Lihat Sudikno
Mertokusumo, Op.Cit., h. 4.
Dudu Duswara
Machmudin, Op.Cit., h. 16-17
Dudu Duswara
Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, (Bandung: Refika Aditama,
2010), h. 9.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), h. 1-2.
Bachsan Mustafa, Sistem
Hukum Indonesia Terpadu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003), h.12.
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat
Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 2006), h. 141-142. Lihat pula Bachsan
Mustafa, Op.Cit., h. 17.