Sabtu, 28 November 2015

Bab II Hukum dan Ilmu Hukum



BAB II
HUKUM DAN ILMU HUKUM
A. Ragam Definisi Hukum
Sebagai makhluk sosial, manusia secara kodrati akan selalu membutuhkan orang lain. Mengenai hal tersebut,  Aristoteles  menyebutnya dengan sebutan zoon politicon. Sebagai makhluk sosial, manusia lahir, berkembang, dan meninggal dunia dalam masyarakat. Setiap individu berinteraksi dengan individu atau kelompok lainnya. Interaksi yang dilakukan manusia senantiasa didasari oleh aturan, adat, atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Aturan yang didasarkan pada kontrak sosial dalam sebuah sistem masyarakat disebut hukum.
Meski hukum telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hukum sulit untuk didefinisikan dengan tepat dan seragam dikarenakan sifatnya yang abstrak. Selain itu cakupan dari hukum sangat luas meliputi berbagai aspek kehidupan. Para ahli pun memberikan definisi yang beragam tentang hukum.
            Hukum dalam bahasa Inggris “Law”, Belanda “Recht”, Jerman “Recht”, Italia “Dirito”, Perancis “Droit” bermakna aturan. Sementara definisi tentang hukum, para sarjana hukum memiliki pengertian yang berbeda. Bahkan kurang lebih 200 tahun lalu, Imanuel Kant pernah menulis Noch suchen die judristen eine definition zu ihrem begriffe von recht.[1] Secara sederhana pengertian tersebut menyatakan bahwa masih juga para sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang  hukum. Perbedaan tentang pengertian hukum tersebut disebabkan terlalu banyak segi dan seluk-beluknya. Sedangkan penjelasan mengenai hukum, terdapat beberapa ahli hukum yang membuat definisi kata hukum, diantara:[2]
a.   Grotius, hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan.”
b.   Imanuel Kant, “hukum adalah keseluruhan syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti hukum tentang kemerdekaan.”
c.   E. Utrecht, “hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan harus ditaati oleh masyarakat itu.”
d.   Leon Duguit, “hukum adalah atuaran tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.”
e.   S.M Amin, hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi sehingga menciptakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. 
f.  Bellefroid mengatakan bahwa, “Hukum adalah peraturan yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat tersebut. “
g. Menurut Ensiklopedia, “Hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan-hubungan antara anggota masyarakat.”
h.   Van Apeldoorn, hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakanya dalam (satu) rumusan yang memuaskan.
i.    Karl von savigny, hukum adalah aturan yang tebentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
j.    John Austin, melihat hukum sebagai perangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) meruipakan otoritas tertinggi.
j.    Hans Kelsen, hukum adalah suatu perintah terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
k.   Achmad Ali, hukum adalah seperangkat asas-asas hukum, norma-norma hukum dan aturan-aturan hukum, yang mengatur dan menentukan mana tindakan yang dilarang dan mana yang boleh dilakukan, dan apabila dilanggar maka ada sanksi yang bersifat Eksternal.
l.    Eugen Ehrlich (Jerman), sesuatu yang berkaitan denagan fungsi kemasyarakatan dan memandang sumber hukum hanya dari legal history and jurisprudence dan living law (hukum yang hidup didalam masyarakat).
m. Menurut Soerjono Soekamto, hukum mempunyai berbagai arti:
- Hukum dalam arti ilmu (pengetahuan) hukum.
- Hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang kenyataan
- Hukum dalam arti kadah atau norma
- Hukum dalam ari tata hukum/hukum positf tertulis
- Hukum dalam arti keputusan pejabat
- Hukum dalam arti petugas
- Hukum dalam arti proses pemerintah
- Hukum dalam arti perilaku yang teratur atau ajeg
- Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai
n.   Menurut Roscoe Pound, hukum itu dibedakan dalam arti :
1). Hukum dalam arti sebagai tata hukum, mempunyai pokok bahasan :
-  hubungan antara manusia denagan individu lainnya
- tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya.
2). Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administrasi. Pandangan Roscoe Pound tergolong dalam aliran sosiologis dan realis.
Dengan definisi tersebut dapat dipahami bahwa hingga saat ini, tidak ada definisi hukum yang baku. Para pakar memberikan definisi hukum secara beragama karena cakupan hukum yang memang begitu luas.
Untuk lebih memudahkan batasan atas definisi hukum, mari perhatikan unsur-unsur, ciri-ciri, sifat, serta tujuan hukum berikut ini:[3]
a. Unsur Hukum
1) Peraturan itu bersifat memaksa.
2) Peraturan itu dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
4) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Ciri-ciri Hukum
1) Adanya perintah dan larangan.
2) Perintah dan larangan tersebut harus ditaati oleh setiap orang.
c. Sifat Hukum
Sifat hukum ada dua, yaitu memaksa dan mengatur. Hukum yang memaksa, yaitu  hukum yang dalam keadaan bagaimanapun harus dan memiliki paksaan mutlak. Sedangkan Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan jika pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat dipahami bahwa hukum merupakan serangkaian peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang bersifat mengikat/ memaksa, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang bertujuan untuk membatasi tingkah laku manusia dan menciptakan ketentraman. Dan apabila kita melanggar, akan dikenakan sanksi.
Dengan demikian hukum pada hakikatnya selalu berhubungan dengan manusia. Kalau tidak ada manusia, maka tidak akan ada hukum. Karena adanya manusialah maka ada hukum. Rasio adanya hukum adalah Conflict of human interest, yakni adanya konflik kepentingan. Oleh karena itu manusia membutuhkan perlindungan dari berbagai konflik kepentingan.[4]
Jadi hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, yang berupa kumpulan kaedah atau peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan dengan masyarakat atau Negara. Dalam mengatur hubungan manusia antara lain dengan membebani manusia dengan hak dan kewajiban. Hak itu memberi kenikmatan atau kebebasan kepada individu dalam melaksanakannya.
Dalam mengatur hubungan manusia kaedah hukum dapat bersifat mencegah (preventif) atau menindak dengan tegas (represif) ancaman atau gangguan kepentingan itu. Oleh karena hukum itu tujuannya adalah ketertiban dan fungsinya adalah melindungi kepentingan manusia, maka harus dihayati, dilaksanakan, dijalankan dan ditegakkan.
Hukum harus dihayati, disadari bahwa hukum bukan hanya melindungi kepentingan satu individu saja tetapi juga melindungi kepentingan orang lain dan masyarakat. Kesadaran hukum berarti juga, kesadaran bahwa hukum harus dilaksanakan, dijalankan, ditegakkan tidak boleh dilanggar dan pelanggarnya harus diberi sanksi.
Pelaksanaan hukum dapat terjadi secara damai tanpa sengketa atau konflik, tetapi pelaksanaan hukum dapat juga terjadi dengan paksaan, yaitu apabila terjadi pelanggaran, sengketa atau konflik, yang berarti bahwa pelaksanaan hukum terjadi dengan penegakan hukum dengan paksaan, dengan kekuasaan. Ini tidak berarti bahwa hukum adalah kekuasaan. Hukum bukanlah kekuasaan, tetapi hukum memerlukan kekuasaan untuk dapat dilaksanakannya atau menegakannya. Hukum tanpa kekuasaan tidak ada artinya. Kekuasaan yang dapat memaksakan berlakunya hukum adalah polisi, jaksa, hakim.[5]

B. Hukum Sebagai Ilmu Pengetahuan
Ilmu hukum merupakan istilah dari dua kata, yakni ilmu dan hukum. Pengertian Ilmu adalah semua pengetahuan yang tidak terbatas baik yang bisa dibuktikan secara faktual maupun tidak bisa dibuktikan, yang sudah ada atau yang belum ada, yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi, yang logis maupun yang tidak logis. Sementara hukum merupakan suatu norma yang otoritatif artinya mempunyai otoritas kekuasaan untuk mengatur kehidupan manusia.
Istilah ilmu adalah terjemahan dari kata science. Ilmu memiliki tiga dimensi yaitu (1) sebagai masyarakat, (2) proses/kegiatan, dan (3) produk.[6] Dalam Thesaurus Bahasa Indonesia, Ilmu diartikan sebagai (1) bidang, disiplin, keahlian, lapangan, lingkungan, sains; (2) kemahiran, kepandaian, kesaktian, keterampilan, pengetahuan.[7]
Sjachran Basah mengatakan, ilmu ialah sesuatu yang didapat dari pengetahuan dan pengetahuan ini diperoleh dengan berbagai cara. Tidak semua pengetahuan itu merupakan ilmu, sebab setiap pengetahuan itu baru dinamakan ilmu kalau ia memenuhi syarat-syaratnya.[8]
Dalam berbagai referensi mengenai filsafat ilmu diajarkan bahwa “ilmu pengetahuan” dibagi atas 2 bagian, yaitu: (1) ilmu itu sendiri, yakni terdiri atas teori-teori sebagai hasil renungan (kontemplasi) dan hasil-hasil penelitian ilmiah, misalnya ilmu sosial, ilmu alam dan sebagainya: (2) Pengetahuan, yakni keterampilan-keterampilan yang berhasil dimiliki manusia untuk kehidupannya, seperti keterampilan menjahit pakaian, keterampilan mengemudikan mobil dan sebagainya.
Pada dasarnya setiap “ilmu” memiliki 2 macam  objek, yaitu objek materiel dan objek formal. Objek materiil adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran, megara adalah objek material ilmu negara, norma adalah objek material ilmu hukum. Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif.[9]
Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum juga memberikan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan. Adapun salah satu definisi tentang ilmu adalah bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Atau ilmu adalah kesatuan pengetahuan yang terorganisasikan. Ilmu dapat pula dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metoda pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh pancaindera manusia.[10]
Adapun ciri-ciri yang pokok yang terdapat pada pengertian ilmu itu adalah:[11]
1. Bahwa ilmu itu rasional (dihasilkan dari sebuah ketertundukan kepada logika formal)
2. Bahwa ilmu itu bersifat empiris (harus dapat ditundukkan kepada pemeriksaan atau pada verifikasi pancaindera manusia)
3. Bahwa ilmu itu bersifat umum (kebenaran-kebenaran yang dihasilkan oleh ilmu itu  dapat diverifikasikan oleh peninjau-peninjau ilmiah yang mempunyai hak dan kemampuan melakukan itu. Kebenaran-kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat rahasia dan tidak dirahasiakan, melainkan memiliki nilai sosial dan kewibawaan ilmiah serta diselidiki dan dibenarkan validitasnya oleh sebanyak mungkin ahli dalam bidang ilmu tersebut)
4. Bahwa ilmu itu bersifat akumulatif (kelanjutan dari ilmu yang telah dikembangkan sebelumnya).
Sebagai masyarakat ilmu menampakan diri sebagai kehidupan yang didasarkan norma-norma keilmuan. Sebagai proses/kegiatan, ilmu terlihat pada kegiatan penelitian, sebagai produk ilmu terlihat pada diketemukannya teori, hukum, dalil, dan lain-lain. Pengertian ilmu lebih banyak diartikan sebagai produk yaitu hasil dari kegiatan penelitian. Sebagai salah satu hasil kegiatan penelitian, teori dapat berasal dari (1) hipotesis yang teruji benar, (2) hasil generalisasi/induksi, (3) penjelasan/eksplanasi, dan (4) semua penalaran atau pemikiran intelek. Sehingga dilihat dari gradasinya dapat dibedakan (1) teori yang universal (grandtheory), dan (2) teori yang partikular.
Adapun hukum adalah salah satu dimensi kehidupan manusia. Manusia adalah individu yang berhakikat sosial. Dalam kesosialannya itu ia memerlukan hukum. Sebagai salah satu dimensi kesosialan manusia, hukum menjadi objek formal dari ilmu hukum. Objek formal itu menentukan metode yang dipergunakan dalam memahami objek tersebut. Selanjutnya metode akan menentukan produk yang dihasilkan. Produk itu dinamakan teori hukum.
Masalah yang timbul adalah sifat dari hukum itu sendiri. Sebagai perbandingan, objek formal dari fisika adalah atom atau sub-atomik, jiwa sebagai objek formal dari psikologi. Objek-objek tersebut dijelaskan menurut paradigma kausalitas, akan tetapi hukum tidak dapat dijelaskan secara kausalitas. Hakikat hukum itu adalah standar atau patokan tentang apa yang seyogya nya harus dilakukan.[12] Dengan alasan itu lalu timbul pandangan yang menyatakan hukum itu bersifat preskriptif. Sifat preskriptif dari hukum tidak dapat dijelaskan manurut paradigma kausalitasan, dan karena itu timbul pendapat bahwa karena objeknya abersifat preskriptif, tidak dapat dijelaskan melalui penjelasan kausal dan karena itu ia tidak dapat disebut ilmu.
Wilhem Delthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi lain, dengan membagi ilmu itu menjadi (1) Ilmu Pengetahuan Alamiah (natuurwissenchaft) dan (2) Pengetahuan kerohanian (geisteswissenchaft), masing-masing menggunakan metode siklis dan metode linier. Metode siklis bersifat erklaren yaitu berusaha menjelaskan dan menggambarkan objek, sedangkan metode linier bukan untuk menjelaskan objek akan tetapi berusaha untuk menemukan “makna”, “nilai” dan “tujuan” yang terkandung di dalam objek.
UNESCO membagi ilmu menjadi (1) Ilmu Eksakta Alam, (2) Ilmu Sosial, dan (3) Ilmu Humaniora. Ilmu Eksakta Alam terdiri dari Fisika, Kimia, Biologi, dan lain-lain. Ilmu Sosial terdiri dari politik, ekonomi, psikologi, sosiologi, dan antropologi. Humaniora terdiri dari filsafat, bahsa dan hukum. Humaniora adalah ilmu yang diciptakan manusia untuk membuat agar manusia itu lebih manusiawi.[13] Di lain pihak ilmu dapat dilihat dari fungsinya dapat dibedakan menjadi ilmu dasar dan ilmu pembantu. Ilmu pembantu bertujuan untuk membantu ilmu pokok. Ilmu pembantu itu antara lain matematika, bahasa, etika, sedangkan ilmu dasarnya seperti fisika, kimia, sosiologi, dan lain-lain.
Dilihat dari ruang lingkupnya ilmu dapat dibedakan menjadi (1) ilmu murni, dan, (2) ilmu terapan. Ilmu murni adalah untuk pengembangan ilmu itu sendiri, sedangkan ilmu terapan adalah yang mengambil manfaat dari ilmu murni. Ilmu hukum adalah ilmu murni, sedangkan perundang-undangan adalah ilmu terapan.
Jika ilmu diartikan sebagai produk, yang berupa teori, dan teori itu berasal dari hasil penalaran/pemikiran intelek, maka ilmu hukum dapat disebut disiplin hukum. Disiplin adalah sistem ajaran tentang kenyataan yang mencakup disiplin preskriptif dan disiplin analitis.[14] Disiplin preskriptif adalah menyorot sesuatu (objek) yang dicita-citakan atau yang seharusnya, sedangkan disiplin analitis menyorot sesuatu (objek) sebagai kenyataan. Atas dasar itulah maka terdapat dua disiplin hukum yaitu disiplin preskriptif dan disiplin analitis. Hukum yang dirumuskan dalam undang-undang merupakan hukum dalam norma atau kaedah yang di dalamnya memuat sesuatu yang dicita-citakan, sebaliknya hukum adat merupakan bentuk kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, merupakan kenyataan atau realitas hukum.[15] Hukum sebagai norma, dikaji oleh ilmu kaedah dan ilmu pengertian, yang lazim nya bila digabung disebut dogmatik hukum. Sedangkan hukum sebagai kenyataan dikaji ilmu kenyataan hukum seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.
Pernyataan Immanuel Kant yang menyatakan bahwa kesulitan membuat definisi hukum disebabkan oleh (1) hukum itu memiliki ruang lingkup luas dan, (2) hukum itu banyak dimensi, juga tidak dapat menjawab masalah itu. Sebagaimana diketahui bahwa objek kajian ilmu itu adalah objek empiris, yaitu objek yang dapat dialami, dalam arti objek itu dapat diketahui melalui panca indera. Objek itu sendiri masih memiliki banyak dimensi . Adakalanya objek itu benda-benda alamiah seperti batu, rumah, tanah, gunung, dan lain-lain, akan tetapi objek itu bukan benda-benda alamiah, tetapi produk karya manusia, seperti bahasa, sastra, ilmu, hukum, etika, logika, estetika, dan lain-lain. Dalam objek hasil pemikiran pemikiran manusia itu terkandung “nilai”, „tujuan”, “makna” yang berwujud ke dalam objek tersebut.
Wilhem Delthey,[16] setelah melihat objek sebagaimana diuraikan di atas ia lantas membedakan ilmu menjadi (1) Natuurwissenchaft yang berobjekan benda-benda alamiah, sedangkan Geisteswissenchaft yang berobjek pemikiran manusia. Natuurwissenchaft bertujuan untuk menjelaskan (erklaeren), sedangkan Geisteswissenchaft bertujuan untuk memahami (verstehen) nilai, tujuan, dan makna yang terkandung dalam objek itu. Dengan demikian norma hukum yang merupakan produk pemikiran manusia (ratio scripta) terdapat nilai-nilai hukum, tujuan hukum, dan makna tersirat dalam norma, tergolong dalam Geisteswissenchaft.
Ilmu hukum yang tergolong dalam geisteswissenchaft yang bertujuan memahami makna, menggunakan metode linier dengan langkah-langkah yaitu (1) persepsi (penangkapan data melalui panca indera), (2) persepsi (pengelolaan dan penyususnan data dalam suatu sistem), (3) prediksi (penyimpulan dan peramalan). Memahami (verstehen) itu mencakup memahami perasaan, keadaan batin seseorang (introspeksi) dan mengetahui makna tersirat di balik teks dan sekaligus menafsirkan ( hermeneutik) teks tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menelaah hukum. Ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Ilmu hukum objeknya hukum itu sendiri.[17] Demikian luasnya masalah yang dicakup oleh ilmu ini, sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan bahwa “batas-batasnya tidak bisa ditentukan”.[18]
Selanjutnya menurut J.B. Daliyo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya hukum. Dengan demikian maka ilmu hukum akan mempelajari semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya mengenai asal mula, wujud, asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber, perkembangan, fungsi dan kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu yang mempunyai objek hukum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau fenomena kehidupan manusia dimanapun didunia ini dari masa kapanpun. Seorang yang berkeinginan mengetahui hukum secara mendalam sangat perlu mempelajari hukum itu dari lahir, tumbuh dan berkembangnya dari masa ke masa sehingga sejarah hukum besar perannya dalam hal tersebut.
Hukum sebagai ilmu, menurut Harold Berman harus memenuhi beberapa kriteria:
1. Kriteria metodologis
a. Pengetahuan yang terintegrasi
b. Di dalamnya teradapat gejala khusus yang dapat dijelaskan
c. Menyangkut peristilahan asas – asas dan kebenaran
d. Pengetahuan tentang gejala, asas dan kebenaran umum yang diperoleh secara kombinasi antara:
i. Observasi
ii. Hipotesis dan verifikasi
iii. Eksperimen (jika memungkinkan)
iv. Metode ilmiah
v. Sistematisasi
2. Kriteria nilai
a. Bersifat obyektif ilmiah
b. Bebas nilai
c. Terorganisasi
d. Toleransi terhadap kekeliruan
e. Terbuka bagi kebenaran ilmiah baru
3. Kriteria sosiologikal
a. Pembentuk komunitas ilmuan
b. Status sosial yang menyandang hak istimewa ilmuan
c. Pengkaitan berbagai disiplin ilmiah dalam komunitas yang luas yang mempunyai kepedulian yang sama bagi pengembangan ilmu.
Dengan demikian, pengertian Ilmu hukum (dalam arti luas) dapat dipahami sebagai ilmu tentang hukum, baik yang berlaku di dalam masyarakat (ius constitutum) maupun hukum yang dicita – citakan di masa depan (ius constituendum).
Beberapa arti hukum yang diberikan oleh masyarakat termasuk diantara:
  1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan
  2. Hukum sebagai disiplin
  3. Hukum sebagai  kaidah
  4. Hukum sebagai tata hukum
  5. Hukum sebagai keputusan penguasa
  6. Hukum sebagai petugas (law enforcement officer)
  7. Hukum sebagai proses pemerintahan
  8. Hukum sebagai sikap tindak/ perikelakuan
  9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai
  10. Hukum sebagai seni (perwujudan rasa/ estetika untuk mencapai harmonisasi)
Hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan seperti juga dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, misalnya ilmu kedokteran, ilmu astronomi dan seterusnya berkembang menurut waktu dan ruang  dan ilmu-ilmu pengetahuan berkembang terutama disebabkan karena sifat atau karakter dari manusia sebagai manusia sebagai HOMO SAPIENS berakal dan berfikir dan manusia sebagai HOMO FABER manusia beriktisar dan berusaha,  manusia selalu dihadapkan kepada keadaan yang ada dan manusia selalu dihadapkan kepada kekurangan-kekurangan, maka dalam keadaan demikian, manusia dengan menggunakan segala apa yang ada terutama akal dan pikiran selalu berusaha untuk memenuhi kepuasan dan kekurangannya itu. Manusia itu demi untuk ilmu yang ia kejar itu dan untuk generasi kemudian ia tidak segan dan ragu mengorbankan dirinya kalau diperlukannya.

C. Eksistensi Ilmu Hukum dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Modern
Definisi ilmu hukum merupakan batasan yang diberikan terhadap kajian ilmu hukum. Sehingga definisi ilmu hukum kemudian menjadi persoalan yang terlebih dahulu harus dijawab oleh para sarjana hukum sebelum mendefinisikan hukum itu sendiri. Oleh karena hukum telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang sangat maju dan tak pernah putus sebagai bahan kajian. Ilmu hukum telah berkembang begitu cepat dan para sarjana hukum telah membagi ilmu hukum sebagai bagian atau salah satu ilmu sosial.
Ilmu hukum dalam istilah bahasa Inggris disebut Jurisprudence. Oleh karena Jurisprudensi berasal dari kata iusris dan prudentia dalam bahasa latin, yang berarti hukum dan pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudensi juga dapat berarti pengetahuan tentang hukum. Dalam bahasa Belanda ilmu hukum adalah  rechtwetenchap, dalam bahasa Prancis disebut theorie generale du droit, bahasa Jerman secara bergantian menyebutnya sebagai jurisprudenz dan rechtswissenschaft. Namun beberapa penulis berbahasa Inggris ada yang menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal science.[19]
Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa ilmu hukum merupakan disiplin bersifat sui generis (latin: hanya satu untuk jenisnya sendiri). Peter Mahmud Marzuki juga menolak ilmu hukum dimasukkan dalam klasifikasi studi yang bersifat empiris, ilmu sosial atau ilmu humaniora. Sedangkan Satjibto Rahardjo menyebut ilmu hukum sebagai ilmu yang membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum.[20]
Secara garis besar ilmu hukum dapat dijelaskan sebagai berikut:[21] a). Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan tentang benar dan yang tidak benar menu rut harkat kemanusiaan; b). Ilmu yang formal tentang hukum positif;
Diantara definisi ilmu hukum yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum tersebut, secara umum memiliki kesamaan satu sama lain. Para pakar hukum yang telah mengemukakan pendapatnya mengenai definisi ilmu hukum, antara lain: J.B. Daliyo, Satjipto Rahardjo, Gijssels dan van Hoecke, Radbruch, Paul Scholten dan Mochtar Kusumaatmadja. Dari para pakar tersebut, secara umum dapat disimpulkan definisi ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah hukum. Kajian ilmu hukum tidak terbatas pada suatu wilayah saja karena juga membutuhkan perbandingan mengenai hukum ditempat lain. Demikian pula bahwa ilmu hukum mempelajari dan menelaah semua hal yang berhubungan dengan hukum.
Dalam konteks hukum sebagai ilmu pengetahuan modern, Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum.[22] Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.[23]
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis.[24] Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas.
Hari Chand secara tepat membandingkan mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari bidang ilmunya masing-masing.[25] Ia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi manusia harus mempelajari kepala, telingga, mata dan semua bagian tubuh dan struktur, hubungan dan fungsinya masing-masing. Sama halnya dengan seorang mahasiswa hukum yang akan mempelajari substansi hukum, harus belajar konsep hukum, kaidah-kaidah hukum, struktur dan fungsi dari hukum itu sendiri.
Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa disamping ia mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, seorang mahasiswa kedokteran juga perlu mempelajari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tubuh, misalnya panas, dingin, air, kuman-kuman, virus, serangga dan lain-lain. Sama halnya juga dengan mahasiswa hukum, yaitu mempelajari faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi hukum itu diantaranya, faktor sosial, politik, budaya, ekonomi dan nilai-nilai yang terkandung dalam bidang ilmu lain.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan. Terlebih dewasa ini banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi.
Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam Ilmu Hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum. Dalam setiap perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab pertanyaan mengapa dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang lain. Apakah yang diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang demikian, ilmu hukum akan menyoal apa yang menjadi tujuan hukum. Dalam hal demikian apa yang menjadi senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya.
Dalam hukum tentu keadilan menjadi bagain yang tak terpisahkan. Tentang hal ini Gustav Radbruch secara tepat menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada mencapai keadilan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”.[26] Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensial keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri. Dengan demikian memunculkan suatu pertanyaan mengenai mengelola keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah preskriptif ilmu hukum.
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang paradigma dalam konteks perkembangan ilmu, maka dalam paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum) kehadiran suatu paradigma baru di hadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tumbangnya paradigma lama. Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan berimplikasi pada saling menguat, atau melemah.
Hukum alam memberikan dasar moral terhadap hukum, sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum selama hukum diterapkan terhadap manusia. Potensi hukum alam ini mengakibatkan hukum alam senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral dan etika. Implikasinya hukum alam menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum negara.
Paradigma Hukum Historis yang berpokok pangkal pada Volksgeist tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang menghasilkan hukum positif. Hal itu menurut Savigny tidak terjadi dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan panca indera.
Oleh Bentham, teori itu secara analogis diterapkannya pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk, jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan.
Dengan demikian, paradigma utilitarianis merupakan paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum yang selama ini memandu kita dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.



[1][1] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kecnana, 2012), h. 24-34
[2] Hasanuddin AF, Pengantar Ilmu Hukum..., h. 2-3
[3] Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 9
[4] Sudikno Mertokusumo, “Pengantar Ilmu Hukum Untuk Awam,” dalam www.sudikno.com (akses: 14/8/2014).
[5] Ibid.,
[6] Koento Wibisono, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, (makalah pada intership dosen-dosen Filsafat Pancasila se Indonesia, Yogyakarta, 1996). h.  2
[7] Tim Redaksi Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h.198.
[8] I Gde Pantja Astawa & Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, (Bandung: Refika Aditama, Bandung, 2009), h.19.
[9] Ibid., h. 20
[10] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010), h. 63-64.
[11] Ibid., h. 64-69
[12] Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996).
[13] Ibid.
[14] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1990). h. 2.
[15] Ibid., h. 3
[16] Koento Wibisono, Op. Cit., h. 8 6
[17] Satjibto Rahardjo, Ilmu Hukum..., h. 3
[18] Ibid.
[19] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 21-39.
[20] Satjibto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000), h. 3
[21] Soedjono Dirdjosisworo, Op.Cit., h. 46-48.  
[22] “Ilmu Hukum dalam Perspektif Pengetahuan Modern,” dalam http:// dunia hukumonline. blogspot.com, (akses: 14/8/ 2014).
[23] Ibid.
[24] Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, (Bandung: mandar Maju, 2012) h. 26-30  
[25] “Ilmu Hukum Suatu Orientasi”, dalam studihukum.wordpress.com (akses: 14/8/2014).
[26] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 181

Tidak ada komentar:

Posting Komentar