BAB II
HUKUM DAN ILMU HUKUM
A. Ragam Definisi
Hukum
Sebagai makhluk sosial,
manusia secara kodrati akan selalu membutuhkan orang lain. Mengenai hal
tersebut, Aristoteles menyebutnya dengan sebutan zoon politicon.
Sebagai makhluk sosial, manusia lahir, berkembang, dan meninggal dunia dalam
masyarakat. Setiap individu berinteraksi dengan individu atau kelompok lainnya.
Interaksi yang dilakukan manusia senantiasa didasari oleh aturan, adat, atau
norma yang berlaku dalam masyarakat. Aturan yang didasarkan pada kontrak sosial
dalam sebuah sistem masyarakat disebut hukum.
Meski hukum
telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hukum sulit untuk
didefinisikan dengan tepat dan seragam dikarenakan sifatnya yang abstrak.
Selain itu cakupan dari hukum sangat luas meliputi berbagai aspek kehidupan. Para
ahli pun memberikan definisi yang beragam tentang hukum.
Hukum dalam bahasa Inggris “Law”, Belanda “Recht”,
Jerman “Recht”, Italia “Dirito”, Perancis “Droit” bermakna aturan. Sementara definisi
tentang hukum, para sarjana hukum memiliki pengertian yang berbeda. Bahkan
kurang lebih 200 tahun lalu, Imanuel Kant pernah menulis Noch suchen die
judristen eine definition zu ihrem begriffe von recht.[1]
Secara sederhana pengertian tersebut menyatakan bahwa masih juga para sarjana
hukum mencari-cari suatu definisi tentang
hukum. Perbedaan tentang pengertian hukum tersebut disebabkan terlalu
banyak segi dan seluk-beluknya. Sedangkan penjelasan mengenai hukum, terdapat
beberapa ahli hukum yang membuat definisi kata hukum, diantara:[2]
a. Grotius,
hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan.”
b. Imanuel
Kant, “hukum adalah keseluruhan syarat yang dengan ini kehendak bebas dari
orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain,
menuruti hukum tentang kemerdekaan.”
c. E.
Utrecht, “hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus
tata tertib suatu masyarakat dan harus ditaati oleh masyarakat itu.”
d. Leon
Duguit, “hukum adalah atuaran tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang
daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama
terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.”
e. S.M Amin,
hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan
sanksi-sanksi sehingga menciptakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga
keamanan dan ketertiban terpelihara.
f. Bellefroid mengatakan bahwa, “Hukum adalah peraturan
yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan
atas kekuasaan yang ada pada masyarakat tersebut. “
g. Menurut Ensiklopedia,
“Hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik
tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan-hubungan antara anggota
masyarakat.”
h. Van
Apeldoorn, hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak
mungkin menyatakanya dalam (satu) rumusan yang memuaskan.
i. Karl
von savigny, hukum adalah aturan yang tebentuk melalui kebiasaan dan
perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam.
Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran,
keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
j. John
Austin, melihat hukum sebagai perangkat perintah, baik langsung maupun
tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan
masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa)
meruipakan otoritas tertinggi.
j. Hans
Kelsen, hukum adalah suatu perintah terhadap tingkah laku manusia. Hukum
adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
k. Achmad Ali, hukum adalah seperangkat asas-asas hukum,
norma-norma hukum dan aturan-aturan hukum, yang mengatur dan menentukan mana
tindakan yang dilarang dan mana yang boleh dilakukan, dan apabila dilanggar
maka ada sanksi yang bersifat Eksternal.
l. Eugen
Ehrlich (Jerman), sesuatu yang
berkaitan denagan fungsi kemasyarakatan dan memandang sumber hukum hanya dari legal
history and jurisprudence dan living
law (hukum yang hidup didalam masyarakat).
m. Menurut Soerjono Soekamto,
hukum mempunyai berbagai arti:
- Hukum dalam arti ilmu (pengetahuan) hukum.
- Hukum dalam arti ilmu (pengetahuan) hukum.
- Hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang
kenyataan
- Hukum dalam arti kadah atau norma
- Hukum dalam ari tata hukum/hukum positf tertulis
- Hukum dalam arti keputusan pejabat
- Hukum dalam arti petugas
- Hukum dalam arti proses pemerintah
- Hukum dalam arti perilaku yang teratur atau ajeg
- Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai
n. Menurut Roscoe
Pound, hukum itu dibedakan dalam arti :
1). Hukum dalam arti sebagai tata hukum, mempunyai
pokok bahasan :
- hubungan antara
manusia denagan individu lainnya
- tingkah laku para individu
yang mempengaruhi individu lainnya.
2). Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan
dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administrasi. Pandangan Roscoe Pound
tergolong dalam aliran sosiologis dan realis.
Dengan definisi
tersebut dapat dipahami bahwa hingga saat ini, tidak ada definisi hukum yang
baku. Para pakar memberikan definisi hukum secara beragama karena cakupan hukum
yang memang begitu luas.
Untuk lebih memudahkan
batasan atas definisi hukum, mari perhatikan unsur-unsur, ciri-ciri, sifat,
serta tujuan hukum berikut ini:[3]
a.
Unsur Hukum
1) Peraturan itu
bersifat memaksa.
2) Peraturan itu
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3) Sanksi terhadap
pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
4) Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Ciri-ciri Hukum
1) Adanya
perintah dan larangan.
2) Perintah dan
larangan tersebut harus ditaati oleh setiap orang.
c. Sifat Hukum
Sifat hukum ada dua,
yaitu memaksa dan mengatur. Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun harus
dan memiliki paksaan mutlak. Sedangkan Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang
dapat dikesampingkan jika pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan
sendiri dalam suatu perjanjian.
Dari berbagai definisi
tersebut, dapat dipahami bahwa hukum merupakan serangkaian peraturan yang
dibuat oleh pemerintah yang bersifat mengikat/ memaksa, baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, yang bertujuan untuk membatasi tingkah laku manusia dan
menciptakan ketentraman. Dan apabila kita melanggar, akan dikenakan sanksi.
Dengan
demikian hukum pada hakikatnya selalu berhubungan dengan
manusia. Kalau tidak ada manusia, maka tidak akan ada hukum. Karena adanya
manusialah maka ada hukum. Rasio adanya hukum adalah Conflict of human interest, yakni adanya konflik kepentingan. Oleh
karena itu manusia membutuhkan perlindungan dari berbagai konflik kepentingan.[4]
Jadi hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, yang berupa kumpulan
kaedah atau peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
dengan masyarakat atau Negara. Dalam mengatur
hubungan manusia antara lain dengan membebani manusia dengan hak dan kewajiban.
Hak itu memberi kenikmatan atau kebebasan kepada individu dalam
melaksanakannya.
Dalam mengatur hubungan manusia kaedah hukum dapat bersifat mencegah
(preventif) atau menindak dengan tegas (represif) ancaman atau gangguan
kepentingan itu. Oleh karena hukum itu tujuannya adalah ketertiban
dan fungsinya adalah melindungi kepentingan manusia, maka harus dihayati,
dilaksanakan, dijalankan dan ditegakkan.
Hukum harus dihayati, disadari bahwa hukum bukan hanya melindungi
kepentingan satu individu saja tetapi juga melindungi kepentingan orang lain
dan masyarakat. Kesadaran hukum berarti juga, kesadaran
bahwa hukum harus dilaksanakan, dijalankan, ditegakkan tidak boleh dilanggar
dan pelanggarnya harus diberi sanksi.
Pelaksanaan hukum dapat terjadi secara damai tanpa sengketa atau
konflik, tetapi pelaksanaan hukum dapat juga terjadi dengan paksaan, yaitu
apabila terjadi pelanggaran, sengketa atau konflik, yang berarti bahwa
pelaksanaan hukum terjadi dengan penegakan hukum dengan paksaan, dengan
kekuasaan. Ini tidak berarti bahwa hukum adalah kekuasaan. Hukum bukanlah
kekuasaan, tetapi hukum memerlukan kekuasaan untuk dapat dilaksanakannya atau
menegakannya. Hukum tanpa kekuasaan tidak ada artinya. Kekuasaan yang dapat
memaksakan berlakunya hukum adalah polisi, jaksa, hakim.[5]
B. Hukum Sebagai Ilmu
Pengetahuan
Ilmu hukum merupakan istilah dari dua kata, yakni ilmu dan hukum.
Pengertian Ilmu adalah semua pengetahuan yang tidak terbatas baik yang bisa
dibuktikan secara faktual maupun tidak bisa dibuktikan, yang sudah ada atau
yang belum ada, yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi, yang logis maupun
yang tidak logis. Sementara hukum merupakan suatu norma yang otoritatif artinya
mempunyai otoritas kekuasaan untuk mengatur kehidupan manusia.
Istilah ilmu adalah
terjemahan dari kata science. Ilmu memiliki tiga dimensi yaitu (1)
sebagai masyarakat, (2) proses/kegiatan, dan (3) produk.[6] Dalam Thesaurus Bahasa Indonesia, Ilmu
diartikan sebagai (1) bidang, disiplin, keahlian, lapangan, lingkungan, sains;
(2) kemahiran, kepandaian, kesaktian, keterampilan, pengetahuan.[7]
Sjachran Basah mengatakan, ilmu ialah sesuatu yang
didapat dari pengetahuan dan pengetahuan ini diperoleh dengan berbagai cara.
Tidak semua pengetahuan itu merupakan ilmu, sebab setiap pengetahuan itu baru
dinamakan ilmu kalau ia memenuhi syarat-syaratnya.[8]
Dalam berbagai referensi mengenai filsafat ilmu diajarkan bahwa “ilmu
pengetahuan” dibagi atas 2 bagian, yaitu: (1) ilmu itu sendiri, yakni terdiri
atas teori-teori sebagai hasil renungan (kontemplasi) dan hasil-hasil penelitian
ilmiah, misalnya ilmu sosial, ilmu alam dan sebagainya: (2) Pengetahuan, yakni
keterampilan-keterampilan yang berhasil dimiliki manusia untuk kehidupannya,
seperti keterampilan menjahit pakaian, keterampilan mengemudikan mobil dan
sebagainya.
Pada dasarnya setiap “ilmu” memiliki 2 macam objek, yaitu objek materiel dan objek formal.
Objek materiil adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti
tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran, megara adalah objek
material ilmu negara, norma adalah objek material ilmu hukum. Adapun objek
formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti
pendekatan induktif dan deduktif.[9]
Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum juga
memberikan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan. Adapun salah satu definisi
tentang ilmu adalah bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang
disistematisasikan. Atau ilmu adalah kesatuan pengetahuan yang
terorganisasikan. Ilmu dapat pula dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu
metoda pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh
faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh
pancaindera manusia.[10]
Adapun ciri-ciri yang pokok yang terdapat pada pengertian ilmu itu adalah:[11]
1. Bahwa ilmu itu rasional (dihasilkan dari sebuah ketertundukan kepada
logika formal)
2. Bahwa ilmu itu bersifat empiris (harus dapat ditundukkan kepada
pemeriksaan atau pada verifikasi pancaindera manusia)
3. Bahwa ilmu itu bersifat umum (kebenaran-kebenaran yang dihasilkan oleh
ilmu itu dapat diverifikasikan oleh
peninjau-peninjau ilmiah yang mempunyai hak dan kemampuan melakukan itu.
Kebenaran-kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat rahasia dan tidak
dirahasiakan, melainkan memiliki nilai sosial dan kewibawaan ilmiah serta
diselidiki dan dibenarkan validitasnya oleh sebanyak mungkin ahli dalam bidang
ilmu tersebut)
4. Bahwa ilmu itu bersifat akumulatif (kelanjutan dari ilmu yang telah
dikembangkan sebelumnya).
Sebagai masyarakat ilmu
menampakan diri sebagai kehidupan yang didasarkan norma-norma keilmuan. Sebagai
proses/kegiatan, ilmu terlihat pada kegiatan penelitian, sebagai produk ilmu
terlihat pada diketemukannya teori, hukum, dalil, dan lain-lain. Pengertian
ilmu lebih banyak diartikan sebagai produk yaitu hasil dari kegiatan
penelitian. Sebagai salah satu hasil kegiatan penelitian, teori dapat berasal
dari (1) hipotesis yang teruji benar, (2) hasil generalisasi/induksi, (3)
penjelasan/eksplanasi, dan (4) semua penalaran atau pemikiran intelek. Sehingga
dilihat dari gradasinya dapat dibedakan (1) teori yang universal (grandtheory),
dan (2) teori yang partikular.
Adapun hukum adalah
salah satu dimensi kehidupan manusia. Manusia adalah individu yang berhakikat
sosial. Dalam kesosialannya itu ia memerlukan hukum. Sebagai salah satu dimensi
kesosialan manusia, hukum menjadi objek formal dari ilmu hukum. Objek formal
itu menentukan metode yang dipergunakan dalam memahami objek tersebut.
Selanjutnya metode akan menentukan produk yang dihasilkan. Produk itu dinamakan
teori hukum.
Masalah yang timbul
adalah sifat dari hukum itu sendiri. Sebagai perbandingan, objek formal dari
fisika adalah atom atau sub-atomik, jiwa sebagai objek formal dari psikologi.
Objek-objek tersebut dijelaskan menurut paradigma kausalitas, akan tetapi hukum
tidak dapat dijelaskan secara kausalitas. Hakikat hukum itu adalah standar atau
patokan tentang apa yang seyogya nya harus dilakukan.[12]
Dengan alasan itu lalu timbul pandangan yang menyatakan hukum itu bersifat
preskriptif. Sifat preskriptif dari hukum tidak dapat dijelaskan manurut
paradigma kausalitasan, dan karena itu timbul pendapat bahwa karena objeknya
abersifat preskriptif, tidak dapat dijelaskan melalui penjelasan kausal dan
karena itu ia tidak dapat disebut ilmu.
Wilhem Delthey
(1833-1911) mengajukan klasifikasi lain, dengan membagi ilmu itu menjadi (1)
Ilmu Pengetahuan Alamiah (natuurwissenchaft) dan (2) Pengetahuan
kerohanian (geisteswissenchaft), masing-masing menggunakan metode siklis
dan metode linier. Metode siklis bersifat erklaren yaitu berusaha
menjelaskan dan menggambarkan objek, sedangkan metode linier bukan untuk
menjelaskan objek akan tetapi berusaha untuk menemukan “makna”, “nilai” dan
“tujuan” yang terkandung di dalam objek.
UNESCO membagi ilmu
menjadi (1) Ilmu Eksakta Alam, (2) Ilmu Sosial, dan (3) Ilmu Humaniora. Ilmu
Eksakta Alam terdiri dari Fisika, Kimia, Biologi, dan lain-lain. Ilmu Sosial
terdiri dari politik, ekonomi, psikologi, sosiologi, dan antropologi. Humaniora
terdiri dari filsafat, bahsa dan hukum. Humaniora adalah ilmu yang diciptakan
manusia untuk membuat agar manusia itu lebih manusiawi.[13]
Di lain pihak ilmu dapat dilihat dari fungsinya dapat dibedakan menjadi ilmu
dasar dan ilmu pembantu. Ilmu pembantu bertujuan untuk membantu ilmu pokok.
Ilmu pembantu itu antara lain matematika, bahasa, etika, sedangkan ilmu
dasarnya seperti fisika, kimia, sosiologi, dan lain-lain.
Dilihat dari ruang
lingkupnya ilmu dapat dibedakan menjadi (1) ilmu murni, dan, (2) ilmu terapan.
Ilmu murni adalah untuk pengembangan ilmu itu sendiri, sedangkan ilmu terapan
adalah yang mengambil manfaat dari ilmu murni. Ilmu hukum adalah ilmu murni,
sedangkan perundang-undangan adalah ilmu terapan.
Jika ilmu diartikan
sebagai produk, yang berupa teori, dan teori itu berasal dari hasil
penalaran/pemikiran intelek, maka ilmu hukum dapat disebut disiplin hukum.
Disiplin adalah sistem ajaran tentang kenyataan yang mencakup disiplin
preskriptif dan disiplin analitis.[14]
Disiplin preskriptif adalah menyorot sesuatu (objek) yang dicita-citakan atau
yang seharusnya, sedangkan disiplin analitis menyorot sesuatu (objek) sebagai
kenyataan. Atas dasar itulah maka terdapat dua disiplin hukum yaitu disiplin
preskriptif dan disiplin analitis. Hukum yang dirumuskan dalam undang-undang
merupakan hukum dalam norma atau kaedah yang di dalamnya memuat sesuatu yang
dicita-citakan, sebaliknya hukum adat merupakan bentuk kebiasaan yang hidup
dalam masyarakat, merupakan kenyataan atau realitas hukum.[15]
Hukum sebagai norma, dikaji oleh ilmu kaedah dan ilmu pengertian, yang lazim
nya bila digabung disebut dogmatik hukum. Sedangkan hukum sebagai kenyataan
dikaji ilmu kenyataan hukum seperti sosiologi hukum, antropologi hukum,
psikologi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.
Pernyataan Immanuel
Kant yang menyatakan bahwa kesulitan membuat definisi hukum disebabkan oleh (1)
hukum itu memiliki ruang lingkup luas dan, (2) hukum itu banyak dimensi, juga
tidak dapat menjawab masalah itu. Sebagaimana diketahui bahwa objek kajian ilmu
itu adalah objek empiris, yaitu objek yang dapat dialami, dalam arti objek itu
dapat diketahui melalui panca indera. Objek itu sendiri masih memiliki banyak
dimensi . Adakalanya objek itu benda-benda alamiah seperti batu, rumah, tanah,
gunung, dan lain-lain, akan tetapi objek itu bukan benda-benda alamiah, tetapi
produk karya manusia, seperti bahasa, sastra, ilmu, hukum, etika, logika,
estetika, dan lain-lain. Dalam objek hasil pemikiran pemikiran manusia itu
terkandung “nilai”, „tujuan”, “makna” yang berwujud ke dalam objek tersebut.
Wilhem Delthey,[16]
setelah melihat objek sebagaimana diuraikan di atas ia lantas membedakan ilmu
menjadi (1) Natuurwissenchaft yang berobjekan benda-benda alamiah,
sedangkan Geisteswissenchaft yang berobjek pemikiran manusia. Natuurwissenchaft
bertujuan untuk menjelaskan (erklaeren), sedangkan Geisteswissenchaft
bertujuan untuk memahami (verstehen) nilai, tujuan, dan makna yang
terkandung dalam objek itu. Dengan demikian norma hukum yang merupakan produk
pemikiran manusia (ratio scripta) terdapat nilai-nilai hukum, tujuan
hukum, dan makna tersirat dalam norma, tergolong dalam Geisteswissenchaft.
Ilmu hukum yang
tergolong dalam geisteswissenchaft yang bertujuan memahami makna,
menggunakan metode linier dengan langkah-langkah yaitu (1) persepsi
(penangkapan data melalui panca indera), (2) persepsi (pengelolaan dan
penyususnan data dalam suatu sistem), (3) prediksi (penyimpulan dan peramalan).
Memahami (verstehen) itu mencakup memahami perasaan, keadaan batin
seseorang (introspeksi) dan mengetahui makna tersirat di balik teks dan
sekaligus menafsirkan ( hermeneutik) teks tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
menelaah hukum. Ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan
dengan hukum. Ilmu hukum objeknya hukum itu sendiri.[17]
Demikian luasnya masalah yang dicakup oleh ilmu ini, sehingga sempat memancing
pendapat orang untuk mengatakan bahwa “batas-batasnya tidak bisa ditentukan”.[18]
Selanjutnya menurut J.B. Daliyo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang
objeknya hukum. Dengan demikian maka ilmu hukum akan mempelajari semua seluk
beluk mengenai hukum, misalnya mengenai asal mula, wujud, asas-asas, sistem,
macam pembagian, sumber-sumber, perkembangan, fungsi dan kedudukan hukum di
dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu yang mempunyai objek hukum menelaah
hukum sebagai suatu gejala atau fenomena kehidupan manusia dimanapun didunia
ini dari masa kapanpun. Seorang yang berkeinginan mengetahui hukum secara
mendalam sangat perlu mempelajari hukum itu dari lahir, tumbuh dan
berkembangnya dari masa ke masa sehingga sejarah hukum besar perannya dalam hal
tersebut.
Hukum sebagai ilmu, menurut Harold Berman harus memenuhi beberapa kriteria:
1. Kriteria
metodologis
a. Pengetahuan yang terintegrasi
b. Di dalamnya teradapat gejala khusus yang dapat dijelaskan
c. Menyangkut peristilahan asas – asas dan kebenaran
d. Pengetahuan tentang gejala, asas dan kebenaran umum yang diperoleh
secara kombinasi antara:
i. Observasi
ii. Hipotesis dan verifikasi
iii. Eksperimen (jika
memungkinkan)
iv. Metode ilmiah
v. Sistematisasi
2. Kriteria
nilai
a. Bersifat obyektif ilmiah
b. Bebas nilai
c. Terorganisasi
d. Toleransi terhadap kekeliruan
e. Terbuka bagi kebenaran ilmiah baru
3. Kriteria
sosiologikal
a. Pembentuk
komunitas ilmuan
b. Status sosial
yang menyandang hak istimewa ilmuan
c. Pengkaitan
berbagai disiplin ilmiah dalam komunitas yang luas yang mempunyai kepedulian
yang sama bagi pengembangan ilmu.
Dengan demikian, pengertian Ilmu hukum (dalam arti
luas) dapat dipahami sebagai ilmu tentang hukum, baik yang berlaku di dalam
masyarakat (ius constitutum) maupun
hukum yang dicita – citakan di masa depan (ius
constituendum).
Beberapa
arti hukum yang diberikan oleh
masyarakat termasuk diantara:
- Hukum sebagai ilmu pengetahuan
- Hukum sebagai disiplin
- Hukum sebagai kaidah
- Hukum sebagai tata hukum
- Hukum sebagai keputusan penguasa
- Hukum sebagai petugas (law enforcement officer)
- Hukum sebagai proses pemerintahan
- Hukum sebagai sikap tindak/ perikelakuan
- Hukum sebagai jalinan nilai-nilai
- Hukum sebagai seni (perwujudan rasa/ estetika untuk mencapai harmonisasi)
Hukum
sebagai suatu ilmu pengetahuan seperti juga dengan ilmu-ilmu pengetahuan
lainnya, misalnya ilmu kedokteran, ilmu astronomi dan seterusnya berkembang
menurut waktu dan ruang dan ilmu-ilmu pengetahuan berkembang terutama
disebabkan karena sifat atau karakter dari manusia sebagai manusia sebagai HOMO
SAPIENS berakal dan berfikir dan manusia sebagai HOMO FABER manusia
beriktisar dan berusaha, manusia selalu dihadapkan kepada keadaan yang
ada dan manusia selalu dihadapkan kepada kekurangan-kekurangan, maka dalam
keadaan demikian, manusia dengan menggunakan segala apa yang ada terutama akal
dan pikiran selalu berusaha untuk memenuhi kepuasan dan kekurangannya itu.
Manusia itu demi untuk ilmu yang ia kejar itu dan untuk generasi kemudian ia
tidak segan dan ragu mengorbankan dirinya kalau diperlukannya.
C. Eksistensi
Ilmu Hukum dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Modern
Definisi ilmu
hukum merupakan batasan yang diberikan terhadap kajian ilmu hukum. Sehingga definisi
ilmu hukum kemudian menjadi persoalan yang terlebih dahulu harus dijawab oleh
para sarjana hukum sebelum mendefinisikan hukum itu sendiri. Oleh karena hukum telah
berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang sangat maju dan tak pernah putus
sebagai bahan kajian. Ilmu hukum telah berkembang begitu cepat dan para sarjana
hukum telah membagi ilmu hukum sebagai bagian atau salah satu ilmu sosial.
Ilmu hukum
dalam istilah bahasa Inggris disebut Jurisprudence. Oleh karena
Jurisprudensi berasal dari kata iusris dan prudentia dalam bahasa
latin, yang berarti hukum dan pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudensi juga
dapat berarti pengetahuan tentang hukum. Dalam bahasa
Belanda ilmu hukum adalah rechtwetenchap,
dalam bahasa Prancis disebut theorie generale du droit, bahasa Jerman
secara bergantian menyebutnya sebagai jurisprudenz dan rechtswissenschaft.
Namun beberapa penulis berbahasa Inggris ada yang menyebut ilmu hukum sebagai the
science of law atau legal science.[19]
Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa ilmu hukum merupakan disiplin
bersifat sui generis (latin: hanya satu
untuk jenisnya sendiri). Peter Mahmud Marzuki juga menolak ilmu hukum
dimasukkan dalam klasifikasi studi yang bersifat empiris, ilmu sosial atau ilmu
humaniora. Sedangkan Satjibto Rahardjo menyebut ilmu hukum sebagai ilmu yang
membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum.[20]
Secara garis besar ilmu hukum dapat dijelaskan sebagai berikut:[21]
a). Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi,
pengetahuan tentang benar dan yang tidak benar menu rut harkat kemanusiaan; b).
Ilmu yang formal tentang hukum positif;
Diantara
definisi ilmu hukum yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum tersebut, secara
umum memiliki kesamaan satu sama lain. Para pakar hukum yang telah mengemukakan
pendapatnya mengenai definisi ilmu hukum, antara lain: J.B. Daliyo, Satjipto
Rahardjo, Gijssels dan van Hoecke, Radbruch, Paul Scholten dan Mochtar
Kusumaatmadja. Dari para pakar tersebut, secara umum dapat disimpulkan definisi
ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah hukum. Kajian ilmu
hukum tidak terbatas pada suatu wilayah saja karena juga membutuhkan perbandingan
mengenai hukum ditempat lain. Demikian pula bahwa ilmu hukum mempelajari dan
menelaah semua hal yang berhubungan dengan hukum.
Dalam konteks hukum sebagai ilmu pengetahuan modern, Robert
L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas
sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum.[22]
Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri
sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu
terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri
maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat
kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan
van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum,
struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.[23]
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang
bersifat sui generis.[24] Maka
kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun
evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan
lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas.
Hari Chand secara tepat membandingkan mahasiswa hukum
dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari bidang ilmunya masing-masing.[25] Ia
menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi manusia
harus mempelajari kepala, telingga, mata dan semua bagian tubuh dan struktur,
hubungan dan fungsinya masing-masing. Sama halnya dengan seorang mahasiswa
hukum yang akan mempelajari substansi hukum, harus belajar konsep hukum,
kaidah-kaidah hukum, struktur dan fungsi dari hukum itu sendiri.
Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa disamping ia
mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, seorang mahasiswa kedokteran juga
perlu mempelajari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tubuh, misalnya
panas, dingin, air, kuman-kuman, virus, serangga dan lain-lain. Sama halnya
juga dengan mahasiswa hukum, yaitu mempelajari faktor-faktor dari luar yang
mempengaruhi hukum itu diantaranya, faktor sosial, politik, budaya, ekonomi dan
nilai-nilai yang terkandung dalam bidang ilmu lain.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum
sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum
adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu
hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain
tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan
hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif
menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah
dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari
perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum
terabaikan. Terlebih dewasa ini banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum
berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law)
bukan pada tatanan jurisprudensi.
Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang
bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu
hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum
menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam
melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu
yang substansial di dalam Ilmu Hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat
dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari
substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam
hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum
sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk
kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum. Dalam setiap
perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab pertanyaan mengapa
dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang lain. Apakah yang
diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang demikian, ilmu hukum
akan menyoal apa yang menjadi tujuan hukum. Dalam hal demikian apa yang menjadi
senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya.
Dalam hukum tentu keadilan menjadi bagain yang tak
terpisahkan. Tentang hal ini Gustav Radbruch secara tepat menyatakan bahwa cita
hukum tidak lain daripada mencapai keadilan “Est autem jus a justitia, sicut
a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”.[26]
Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan
persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan intelektual
manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensial keadilan selalu ada
dalam kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang
memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang
kodrat hukum itu sendiri. Dengan demikian memunculkan suatu pertanyaan mengenai
mengelola keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah preskriptif ilmu hukum.
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang paradigma dalam
konteks perkembangan ilmu, maka dalam paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum)
kehadiran suatu paradigma baru di hadapan paradigma lama tidak selalu menjadi
sebab tumbangnya paradigma lama. Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan
berimplikasi pada saling menguat, atau melemah.
Hukum alam memberikan dasar moral terhadap hukum,
sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum selama hukum diterapkan
terhadap manusia. Potensi hukum alam ini mengakibatkan hukum alam senantiasa
tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan moral dan etika. Implikasinya hukum alam menjelma
dalam konstitusi dan hukum-hukum negara.
Paradigma Hukum Historis yang berpokok pangkal pada
Volksgeist tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu
menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang sama-sama
hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang menghasilkan hukum positif.
Hal itu menurut Savigny tidak terjadi dengan menggunakan akal secara sadar,
akan tetapi tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat
dilihat dengan panca indera.
Oleh Bentham, teori itu secara analogis diterapkannya
pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat
yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat
dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah
kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya
dinilai buruk, jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil,
kerugian dan hanya memperbesar penderitaan.
Dengan demikian, paradigma utilitarianis merupakan
paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip
utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.Tujuan hukum
adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau
bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat
yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka
isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan kesejahteraan
negara.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka
ilmu hukum dapat menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan
yang lebih utuh dan tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya
akan berakibat bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu
paradigma tersebut tentunya akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum
yang selama ini memandu kita dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih
baik dalam prinsip keilmuan.
[2] Hasanuddin AF, Pengantar Ilmu Hukum...,
h. 2-3
[3] Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 9
[4] Sudikno Mertokusumo, “Pengantar Ilmu Hukum
Untuk Awam,” dalam www.sudikno.com (akses: 14/8/2014).
[5] Ibid.,
[6] Koento Wibisono, Hubungan Filsafat, Ilmu
Pengetahuan dan Budaya, (makalah pada intership dosen-dosen Filsafat
Pancasila se Indonesia, Yogyakarta, 1996). h.
2
[7] Tim Redaksi Tesaurus
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h.198.
[8] I Gde Pantja Astawa
& Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, (Bandung:
Refika Aditama, Bandung, 2009), h.19.
[9] Ibid., h. 20
[10] Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010), h. 63-64.
[11] Ibid., h. 64-69
[12] Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut
Filsafat Positivisme Auguste Comte, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1996).
[13] Ibid.
[14] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1990). h. 2.
[15] Ibid., h. 3
[16] Koento Wibisono, Op. Cit., h. 8 6
[17] Satjibto Rahardjo, Ilmu Hukum..., h. 3
[18] Ibid.
[20] Satjibto Rahardjo, Ilmu Hukum,
(Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000), h. 3
[22] “Ilmu Hukum dalam Perspektif Pengetahuan
Modern,” dalam http:// dunia hukumonline. blogspot.com, (akses: 14/8/ 2014).
[23] Ibid.
[24] Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum
dalam Ilmu dan Filsafat, (Bandung: mandar Maju, 2012) h. 26-30
[25] “Ilmu Hukum Suatu Orientasi”, dalam studihukum.wordpress.com
(akses: 14/8/2014).
[26] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori
Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar